Merealistiskan Sebuah Film

Merealistiskan Sebuah Film.

Ketika ada kabar film Ada Apa dengan Cinta? akan dibuat sekuelnya, saya teringat mendiang Denny Sakrie, seorang kritikus musik dan film yang mengatakan, para pecinta seni yang sering membuat karya napak tilas atau kunjung ulang,  berarti menunjukkan terbatasnya kreativitas dan ekspresi untuk memunculkan sesuatu yang baru. Saya pribadi cenderung sepakat pada pernyataan tersebut. Namun pada galibnya, yang paling mengkhawatirkan dari sebuah nostalgia ialah penurunan kualitas akan kenangan yang sudah terbentuk secara alamiah.
Jelas, sebuah kisah yang menggantung dan terlanjur membekas, menjadi bulan-bulanan bagi manusia yang haus akan hasil akhir. Sifat haus itu yang kemudian dipropaganda oleh Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai orang yang paling berkuasa atas film AADC?.  Cerita 14 tahun silam, ketika laki-laki bernama Rangga meninggalkan sebuah puisi dengan kalimat akhir yang lugas dan tandas “ Aku akan kembali dalam suatu purnama. Untuk mempertanyakan kembali cintanya. Bukan untuknya, bukan untuk siapa. Tapi untukku. Karena aku ingin kamu, itu saja. “
Yang terjadi di awal sekuelnya (AADC2), Cinta, perempuan yang menerima puisi itu bertunangan dengan Trian. Awal cerita yang realis, apalagi bagi seorang perempuan. Menunggu bertahun-tahun tanpa kejelasan, ialah kedunguan tanpa alasan apapun. Mira lesmana dan Prima Rusdi selaku penulis skenario saya yakin bukan orang yang dungu. Selain kealfaan tokoh Alya, saya sangat kehilangan sentuhan Jujur Prananto dalam kasus skenario.
Buku bacaan Cinta, kumpulan puisi berjudul Melihat Api Bekerja karya Aan Mansyur, menegaskan kepada penonton bahwa Cinta telah keluar dari bayang-bayang sastra masa lalu yang bergelut dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Cinta yang modern dan populer. Padahal banyak pecinta sastra yang memprediksi buku bacaan Cinta semisal Orang-orang Bloomingtoon karya Budi Darma atau Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma.
Cinta yang kekinian, Cinta yang suka dunia gemerlap, mendadak berubah menjadi klasik dan suka romantisme dengan berbau spirit sejak alur cerita dipaksa ada pertemuan antara Rangga dan Cinta. Apa yang terjadi? Ya, Cinta yang bersikeras menjunjung realitas kemudian menjadi getas. Ditambah lagi lirihan maaf yang terurai beberapa kali dari Rangga, sehingga membuat sebagian laki-laki tersadar bahwa mengucapkan maaf itu amat penting. Bagi saya, permintaan maaf yang terlalu sering menurunkan wibawa. Harusnya Rangga sadar bahwa pertemuan mengandung maaf yang lebih besar dari kata maaf itu sendiri. Sepatutnya Rangga mengutip syair : Aku perlu dijenguk dalam berbagai musim. Jangan pakai doa. Pertemuan jasad dan badan adalah kitab yang kan khatam dengan sendirinya. Sayangnya kehausan penonton akan syair yang melankolis lebih diutamakan sehingga Rangga menulis puisi tentang Batas.
Rangga paham betul kegetasan Cinta. Betapa liciknya Rangga yang selalu meminta Cinta untuk diadakan pertemuan, untuk menjelaskan sesuatu, padahal ketidakjelasan bertahun-tahun dan pertunangan Cinta dengan Trian adalah jawaban yang semestinya tidak bisa diganggu gugat. Rangga yang legendaris itu benar-benar memanfaatkan pertemuan dengan percikan-percikan kesan sampai-sampai penonton melakukan kejahatan massal dengan mendukung Rangga menculik Cinta hingga pagi tanpa memikirkan perasaan Trian, perasaan Cinta dan perasaan orang-orang yang di kehidupan nyata tunduk pada etika, arus, kapitalis dan berpikir linier.
Betapa kita gembira dan orgasme melihat Rangga dan Cinta berciuman, tanpa ada pemikiran bahwa mencium kening perempuan justru lebih terasa mewah.  Hasil akhirnya, ya seperti yang dijelaskan mengenai rasa haus kita. Kita yang gagap dan seringkali tak habis pikir ketika bergelut dengan perasaan dan jawaban, film yang sudah pasti tidak ada lanjutannya ini seperti air bening pemuas dahaga.
Satu hal, apa yang kalian (Mira Lesmana, Prima Rusdi dan Riri Riza) lakukan kepada saya itu jahat. Tidak hanya mengurangi nuansa kenangan, film yang kalian buat ini melempar saya ke masa silam saat adegan Cinta melirihkan naskah puisi Rako Prijanto : Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih. Kenapa tak kau goyangkan saja loncengnya? Biar terdera. Lalu Diklimakskan oleh Rangga dengan kalimat super picisan namun berkelas : Baru kali ini kulihat karya surga dari mata seorang hawa. Ada apa dengan Cinta?, saat itu saya ingin menjadi penulis puisi yang baik dan benar. Saya kecewa.
Maaf, setelah merenung di jalan, saya tersadar ini bukan salah kalian, apalagi teman-teman kalian. Ini salah saya yang menganggap Rangga dan Cinta suatu sayembara dan tragedi yang harus saya selesaikan dalam kehidupan saya sendiri.
Film adalah film. Jika film membuat orang, warga atau masyarakat luas tergugah secara kolosal itu hanya kebohongan orang pembuat film. Sisi lain saya menyadari itu. Maka muncul di pikiran saya film Pendekar Tongkat Emas, Atambua 39 dan Sokola Rimba, yaitu film garapan Miles yang tak berhasil secara komersil.

AADC 2 memiliki kans mengalahkan Laskar Pelangi untuk menduduki film terlaris Indonesia sepanjang masa. Tentu mengeruk uang banyak. Semoga proyek film Bumi Manusia dari novel legendaris yang terkendala biaya segera terlaksana. Sungguh itu pelipur lara.

Kado untuk Kekasih

Rahmatan lil alamin, sebuah kalimat impor dari negeri arab sana untuk mendefinisikan manfaat Islam sebagai sebuah agama, sebuah jalan kehidupan, jalan kebenaran yang menuntun manusia kepada kebenaran sejati. Arti dari rahmatan lil alamin kira-kira adalah rahmat atau anugerah bagi seluruh alam semesta. Namun belakangan beberapa orang baik kalangan muslim maupun non muslim banyak menekankan makna dari rahmatan lil alamin tersebut. Ya, kita memang tidak akan pernah mengerti maksud sebenarnya dari hal yang di inginkan Tuhan, namun tentunya dengan membaca fenomena sekitar dan petunjuk kitab yang diberikan yang pemahamannya bisa multi tafsir tersebut, maka konflik terhadap definisi atas rahmat bagi semesta tersebut tidak dapat dihindarkan. Tanpa mencoba SKSD, Apa ini maunya Tuhan?
Pendefinisian dari rahmat untuk semesta tesebut ditekankan karena beberapa orang mendefinisikan sebagai kenyamanan, kebermanfaatan, keindahan, keteraturan, kebaikhatian, dan segala yang indah untuk dilakukan bersama dengan berbagai umat yang berbeda Tuhan yang hidup di bumi maupun Pluto yang belakangan tereliminasi sebagai planet tata surya. Namun ada juga yang mempromosikannya sebagai sebuah tameng kebenaran absolut yang meskipun harus sengsara, berdarah, hancur, bacok, bakar dan sebagainya yang mengerikan itu tetap anugrah untuk semesta karena hal tersebut akan membawa kepatuhan terhadap hukum-hukum Tuhan atau sunatullah yang memberikan rasa nyaman di hati meskipun amis dara dan bau daging gosong adalah harga yang harus dibayar.
Dan saya, terhimpit di kedua definisi tersebut. Hampir tak bisa bernafas karena ego keduanya. Sempat tak terpikir pula karena harus untuk saat ini pihak leasing terasa lebih gawat ketimbang jibril. Namun seketika terbengong di siang menjelang berangkat ke perbudakan era modern, bahwa jika rahmatan lil alamin adalah berkah untuk semesta maka mari kita berpikir sedikit, sedikit saja jangan banyak-banyak. Islam adalah rahmat bagi alam semesta, siapa yang diberikan rahmat? ya alam semesta, lantas siapa yang menjadi rahmat? ya islam. Siapa yang memberikan rahmat? ya Allah. Oke kalau begitu mungkin bisa sedikit disederhanakan untuk perumpamaan, sedikit saja jangan banyak-banyak. Maka bayangkan kita adalah pemberi, Islam adalah hadiah, dan alam semesta adalah pacar kita. Kita memberikan kado yang bermanfaat kepada sang pacar, contohnya mungkin bisa seperti kondom (entah kenapa ini yang terlintas). Setelah kita berikan kado kepada pacar, terserah sang pacar dong kondom itu mau diapakan, mau untuk balon, kantung air, akuarium dadakan untuk ikan guppy, bahkan yang paling menyakitkan adalah untuk digunakan sebagai pelindung bersama selingkuhannya yang tidak lebih tampan dari kita (JLEBB!!!).
Mengenai penggunaan dari kado yang diberikan kita memang tidak bisa mengatur harus digunakan bagaimana dan untuk apa, namun jika memang pacar kita punya perasaan halus mulus dan hati yang simpatik, tentunya kondom tersebut akan digunakan untuk melampiaskan hasratnya yang selama ini terpendam bersama kekasih yang memberikannya, iya kan? Nah sekarang saya mau Tanya ke kalian, seks itu enak atau siksaan?. Jawabannya pasti lebih banyak enak, meskipun untuk beberapa kasus unik siksaan itu menjadi kenikmatan, namun pada batas-batas tertentu sekskolog Boyke juga melarang yang terlalu ekstrim kan, jika sudah melukai itu sudah kelewatan. Jika untuk role play bisa sajalah menjadi tukang jagal atau suster jahat, namun jika goloknya sampai bikin luka atau jarum suntiknya sampe nusuk dan merusak tubuh, itu namanya sudah sakit dan PERLU DIOBATI! Hal itu sama jahatnya ketika kondom itu hanya disimpan hingga kadaluarsa oleh si pacar, atau bahkan dibuang di depan mata kita tepat setelah memberikannya.
Sekarang kita harus menentukan sikap, apakah kita tipe pacar yang ikhlas setelah memberikan kado mau diapakanpun oleh si penerima, atau kita adalah tipe pemaksa yang mengungkit-ungkit pemberian-pemberian kita kepada si pacar hingga setiap kali ada KONFLIK kita selalu menguak semua yang telah kita berikan dan mendikte mereka bagaimana cara memanfaatkannya. Disini saya mengalami kebingungan beragama, namun bingung adalah sebuah proses berpikir, dan setau saya Islam adalah agama untuk orang-orang yang berpikir. Namun jangan disalahartikan bahwa saya mengimani islam, bukan ikut-ikutan Caknun tapi saya memang merasa bahwa itu adalah hak si pemberi, Saking luar biasanya si pemberi saya bahkan tidak tahu apakah saya sudah mendapatkan kadonya atau belum, atau bahkan kadonya sudah diambil lagi oleh yang memberi karena saya tak pantas atau apalah-apalah. Tapi saya tidak bingung untuk yang mau saya tekankan di sini, bahwa kita memberikan kado kepada pacar karena kita menyayangi mereka dengan segenap cinta, pacar kita tentunya lebih penting daripada kado, eh! Sebentar… sebentar..., atau kadonya yang lebih penting ya? Untuk koleksi pacar misalnya.  

Hijaunya Tak Kentara

Matilah kalian semua manusia! Kira-kira itulah kata kaum tumbuhan pada suatu malam, keesokan harinya, di taman sekitar menara Eiffel, Bambang dan teman-teman bengcengkrama sambil mengerjakan tugas kuliah. Namun di tengah obrolan santai, Baskoro terdiam tanpa respon. Matanya menatap nanar dan kosong ke depan, dan beberapa detik kemudian Baskoro menancapkan pulpen dalam-dalam ke matanya hingga menembus otak dan terkaparlah ia dengan darah mengalir dan tubuh mengejang. Bambang kaget setengah mati lompat sambil jumpalitan ke belakang bangku taman melihat temannya yang biasanya punya tindakan beralasan tiba-tiba melakukan tindakan yang di luar nalar. Sejurus kemudian Bambang meminta tolong kepada orang-orang di sekeliling taman, namun ternyata Ia mendapati semua orang bunuh diri dengan benda-benda yang ada di sekitar mereka, ada yang berlari menubruk tiang, lompat ke danau yang dalam, lari ke kendaraan yang sedang ngebut, dan berbagai cara mudah untuk mati lainnya. Bambang terbelalak, beberapa detik kemudian ia mulai gelap meilhat sekeliling, terakhir yang ia rasakan adalah tubuhnya yang bergerak sendiri tanpa perintah. Dan kamera drone zoom out menggambarkan situasi seluruh taman yang kacau balau penuh manusia yang bunuh diri dan bergerak seperti robot.
Kira-kira begitulah adegan sebuah film yang berjudul The Happening, tumbuhan menyerang balik karena perilaku kita yang tidak membiarkan mereka hidup dengan alami dan semestinya. Makna yang saya tangkap di film ini adalah tentang kegeraman tumbuhan terhadap kesewenang-wenangan manusia, salute! Namun bukan tindakan revolusioner tumbuhan yang kali ini saya ingin bahas, namun lebih kepada ego manusia yang sering kali mengklaim spesies atau mahluk yang berbeda sebagai pelayan manusia sebagai khalifah di bumi, sehingga untuk umat-umat yang berbeda seperti tumbuhan sering disemena-menakan oleh mahluk yang merasa lebih superior. Jangankan tumbukan, hewan saja masih diperbudak oleh manusia untuk keuntungan pribadinya dan ditutupi dengan dalil-dalil suci yang nimbrung dari ego yang bersumber penghambaan terhadap kebenaran hakiki.
Belakangan ini menonton Konser Raya Iwan Fals, mendengar lagu “isi rimba tak ada tempat berpijak lagi” memang serasa ingin menangis, dan terharu. Mendengar Bang Iwan (panggilan sok akrab) bilang ke kita bahwa manusia adalah penyebab utama kerusakan hutan, demi kantong pribadi tak ingat rejeki generasi nanti. Di kampung saya, dulu setiap rumah memiliki kebun dan empang. Kebun untuk menanam berbagai sayur dan buah, sementara empang untuk ikan dan kakus, sementara airnya digunakan untuk menyiram sayuran. Mereka makan apa yang ditanam, dan minum dari air yang dijaga oleh pohon yang mereka tanam. Ikan yang memakan feses dan sisa-sisa sayuran busuk bekas panen lebih ekonomis dan menjadi sumber protein yang sehat dibanding umpan pabrikan yang berlemak dan hanya dominan karbohidrat. Selain itu empang juga sangat berguna menampung air di musim hujan, dan menyimpannya untuk musim panas sehingga air tanah tetap terjaga. Jika sudah begini, tak peduli resesi dan krisis ekonomi. Kita punya rantai makanan sendiri di halaman rumah! Namun sekarang seperti bisa kita lihat. Dalam bangunan 5x7 saja hanya terdapat tumbuhan berupa lumut di dasar tembok, dan penampung air hujan hanya mainan anak yang berserakan di depan rumah dimana penghuni air tersebut adalah jentik nyamuk yang mengganggu sekali ketika kemarau tiba. Dari peristiwa kampung yang hijau beralih ke kampung yang sumpek hanya butuh waktu sekitar sepuluh tahun.
Belum lama ini saya melakukan perjalanan ke Baduy, di mana penduduk di sana sangat bersahabat dengan alam. Mereka menolak pendidikan luar dan teknologi karena bertentangan dengan ajaran adat mereka. Menakjubkan! Ternyata ada aturan bahwa alam tak boleh diubah. Alhasil mereka bertani tanpa dicangkul, bibit disebar di lahan kosong yang hanya dibersihkan rumputnya saja karena kontur tanah tak boleh dirubah. rumah panggung merekapun tak boleh merubah kontur tanah yang ada di bawahnya, alhasil tiang penyangga dari sebuah rumah tak ada yang memiliki panjang yang sama. Minum, mandi, dan masak semua menggunakan air sungai yang mengalir jernih karena sungai yang terjaga. Namun saya rasa agak berat juga jika hidup seperti mereka, untuk kita rasanya cukuplah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Membandingkan masyarakat Baduy Di Banten dengan cara hidup kita yang lebih mengagungkan uang ketimbang memiliki lingkungan yang asri rasanya jauh. Setumpuk uang lebih menggiurkan bagi kita ketimbang sebidang tanah yang perlu tenaga ekstra untuk mengolahnya menjadi makanan, di sini pragmatisme terlalu diagungkan, padahal nilai uang mengalami penyusutan, sementara tanah selalu meningkat. Alhasil penduduk asli di sebuah kota besar kini lebih banyak yang gigit jari tinggal di gang sempit karena lahan telah dibeli oleh mereka yang uangnya jauh lebih banyak dari saat tanah tersebut dijual dulu hanya untuk ditanami rumput bogel yang bahkan sayang untuk diinjak karena harganya mahal namun indah dilihat.
Sedang jengkel-jengkelnya karena tak punya lahan untuk bertani, saya menemukan sebuah tulisan di twitter ketika hendak twitwar, yang berbunyi, “kita pasti menanam pohon terus menerus jika saja ia bisa memberikan sinyal wifi yang kuat untuk internetan, namun sayang sekali, ia hanya menghasilkan udara untuk kita bernapas”. Plakk!!! Manusia ditampar. Begitu tak berharganya tumbuhan hingga harus ada fungsi wifi dahulu kah baru kita mau menananam dan memberikan ruang untuk mereka?. Ini mungkin menjadi salah puluhan tahun dari generasi ke generasi yang terlalu pragmatis memandang bagaimana kita mengisi perut, namun rasanya ini adalah tugas kita memutus rantai ini, jangan biarkan udara segar dan rindangnya pohon hanya menjadi milik orang-orang yang banyak uang itu. Kita juga berhak atas pemandangan lele yang berebut feses, atau kangkung yang gurih hasil tanaman sendiri.
Membahas tradisi hijau jadi teringat akan peringatan keras di jaman dahulu agar tidak menebang pohon yang dihuni setan. Sebenarnya untuk hal yang satu ini setan telah benar-benar membantu kita melestarikan lingkungan. Terima kasih, setan! Dan belakangan ini saya sering berpikir bahwa manusia selalu membutuhkan bencana untuk berpikir dan menanggulangi dengan pencegahan agar tidak terjadi kembali. Apakah kita butuh pohon-pohon untuk menyerang balik dan memberikan suatu penyakit agar kita sadar betapa bermaknanya mereka untuk kita? Satu hal, seluruh kehidupan yang kita kenal saat ini dapat berjalan tanpa kita manusia yang merasa manusiawi, bisa lebih baik malah. Namun tanpa tumbuhan, semua pasti berbeda dan lebih tidak manusiawi.
Kita sering memandang tumbuhan hanya sebagai properti, hak milik kita tanpa kita perkirakan bahwa mereka juga punya perasaan dan memiliki haknya untuk hidup dan berkembang alami. Kita perlu hutan yang lebih rindang, rumput yang lebih lebat, semak-semak yang lebih rimbun hingga hewan-hewan dapat bersembunyi dan berkembang biak secara liar dan alami. Jadi sebelum menebang pepohonan rasanya kita harus banyak hitung-hitungan juga soal kebermanfaatannya mengingat oksigen yang kita hirup dihasilkan oleh mereka secara sistemik. Bukan hanya karena uang melulu. Hah! Bosan dengarnya!

Sembunyi Sunyi Berisi

      Cihuyyy.... Lebaran! Hari-hari persembunyian selesai untuk sementara, persembunyian dari siapa diri kita sebenarnya. Maka ini saatnya keluar untuk merayakan kebebasan, kebebasan untuk sedikit lebih leluasa menunjukkan diri kita dengan hanya sedikit rasa malu di mana kenyataannya bahwa bulan sebelumnya menurut penanggalan hijriah ada mahluk yang dibelenggu dan kita senang bukan main hanya karena ada beberapa orang yang bilang bahwa si terbelenggu tersebut memang layak dibelenggu. Sebuah kekeroposan moral muncul dalam pesan-pesan yang dibawa dalam sebuah momen yang disucikan bahkan mungkin lebih suci dari si pemilik momen dan tidak momen yang biasa disebut Tuhan. Kita terbiasa merasa mewakili apa yang benar menurut Tuhan, dan hal itu dapat terlihat jelas sebulan penuh kemarin. Berisik, riuh, boros, macet dan pamer yang lebih dikedepankan daripada esensi membantu sesama yang kesusahan. Maka karena kita terlalu biasa untuk menurut jika diancam, maka pakaian baru pun laku karena kita merasa itu adalah representasi sesungguhnya dari jiwa yang baru dan suci bersih, segala jenis makanan dihidangkan untuk menghargai tetamu dan keserakahan dalam makan daripada melihat ke rumah tetangga yang reyot atau janda tua yang harus banting tulang menafkahi keluarga besarnya sendirian sementara anak-anak dan cucunya masih makan dari dapurnya. Kita kehilangan momentum,  kita terlalu terbiasa.

            Saat berjalan menyusuri pinggiran sungai dan danau ke tempat kerja selepas silaturahmi di hari pertama lebaran, ada pemandangan unik di mana ada beberapa orang memilih memancing sendiri ketimbang di rumah bercengkrama dengan tetangga. Yang satu berumur kira-kira 20 tahun dan yang satu lagi kira-kira 50 tahun. Berkulit sawo busuk dan bertampang lokal yang sepertinya adalah muslim mengingat sedikit sekali kemungkinan orang murni pribumi yang non muslim di tempat yang bersahaja itu. Di hati bertanya, mengapa mereka melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan, mereka menghindari lebaran! (baca: bahasa indonesia untuk Idul Fitri). Jika dibuatkan daftar, bisa jadi akan muncul beberapa kemungkinan penyebabnya mulai dari bokek hingga malu atau bahkan malas bermunafik-munafik dengan senyum palsu dan maaf-maafan dengan orang asing dan paket kepalsuannya itu. Sebagai karyawan yang masuk kerja di kala lebaran, saya justru bersukur atas karunia ini. Saya bisa dengan tampak tidak sengaja menghindari lebaran yang kini lebih sekedar perayaan atau ruang pameran, pameran segala keunggulan dan kemenangan tanpa menyisakan podium untuk yang kalah.  

            Untuk beberapa saat saya terpikir mengenai kesucian dari waktu-waktu tertentu yang dibuat oleh manusia, menurut klaim beberapa pemukanya sih katanya memang telah dikhususkan oleh Sang Pencipta. Namun berikutnya seperti biasa kenyinyiran durhaka saya pun muncul untuk sok mengkritisi hal ini, jika memang ada momen yang diciptakan untuk spesial, maka ada momen yang tidak spesial. Untuk pemilihan momen ini berarti Tuhan memiliki selera, dan jika Tuhan memiliki selera berarti ada yang disuka dan dibenci, dan jika begitu maka Tuhan tak berbeda dengan manusia, memiliki rasa tidak nyaman, berarti Tuhan dapat diganggu, dapat diusik, dapat dikacaukan, dapat diacak-acak, dapat dibunuh. Tidak heran jika Nietzsche mempopulerkan istilah “Tuhan telah mati”. Berapa dari kita yang menyadari bahwa kita telah membunuh Tuhan dengan menempatkannya dalam spektrum-spektrum penilaian manusia yang tidak pernah relevan untuk sebuah kemahaan? Atau sebenarnya kita memaksakannya hanya untuk menutupi rasa takut kita akan sebuah kebenaran yang sebenarnya kosong, karena konsekuensi dari berbondong-bondong adalah kenyamanan, rasa kesatuan yang mempersetankan kebenaran ketuhanan itu sendiri. Seperti kata kapten Steve Rodgers “kita lakukan bersama meskipun harus hancur”, sebuah petikan kata dari seorang katolik taat fiktif yang pada prinsipnya sepertinya dipakai oleh umat beragama di seluruh dunia. Maka persetan dengan moral dan kebenaran yang relatif, jika kebenaran tidak sesuai dengan kebutuhan maka ubahlah kebenaran itu, bersama!

            Kehilangan makna kesucian dari jalan ketuhanan yang saya rasakan tiba di puncaknya ketika ternyata nilai kesucian dari sebuah perayaan keagamaan distorsinya lebih kentara dibanding keindahan komposisi nada yang sebenarnya. Teringat perkataan seorang teman mengenai sebuah hadis, katanya “manusia yang paling baik adalah yang bermanfaat untuk orang lain”. Rasul sebagai pemimpin islam, pasca kemenangannya justru memakmurkan jazirah arab dan menaungi kaum dari berbagai agama dan suku untuk kesejahteraan bersama tanpa diskriminasi. Namun saat lebaran tampaknya kaum beragama berubah menjadi lebih egois, makna kemenangan dalam perjuangan agama kini terasa lebih ditekankan kepada keuntungan pribadi seperti surga, pahala, rejeki, umur panjang, sehat, dan sederet keuntungan yang dipromosikan tak lebih untuk keuntungan diri sendiri. Memang tidak ada yang salah dari itu jika kita berbicara manusia sebagai makhluk, namun ketika makhluk yang satu ini mulai memposisikan diri dalam kesatuan agama yang ditenggarai sebagai jalan ketuhanan maka terlalu egois rasanya. Saya jadi teringat seorang ustad yang banyak menganjurkan kita beramal kepada orang yang membutuhkan sebagai selling pointnya, ajaran yang baik dan perlu dilestarikan, terlepas dari kehidupan pribadi sang ustad dan ajarannya yang kurang utuh.

            Oia hampir lupa, apa di sini ada yang curiga bahwa lebaran adalah hari perayaan dibebaskannya kembali setan-setan dari belenggu? Maaf, tampaknya saya mulai sok tahu tentang Tuhan. Sampai sini dulu, mari membaur.


SB

Perihal Selera Seksual yang Mengorbitkan Ayat, Gen dan Dinosaurus


Pertama kali seorang bayi lahir, ia mencari puting ibunya untuk mendapat nutrisi. Entah darimana bayi itu mengetahui bahwa puting ibu bisa menghasilkan nutrisi bagi dirinya. Unik. Tapi ada yang jauh lebih unik, yaitu pendapat salah satu teman saya berkelamin laki-laki: kejadian bayi yang mencari puting ibunya ketika baru lahir menunjukkan manusia terlahir sebagai heteroseksual. Emejing, dari satu premis saja teman saya bisa mengambil kesimpulan yang terkesan absolut. Dunia memang cenderung dipersepsikan memakai kaca mata laki-laki, tapi ya tidak dari persepsi laki-laki yang otaknya berkarat dan tak lebih mahal dari otak-otak rasa ikan tenggiri.
Soal hetero-homoseks kini menjadi heboh dan gedumbrengan di kalangan masyarakat perkotaan. Muasalnya dari dilegalkannya pernikahan sesama jenis di negara yang paling bermanfaat bagi seluruh dunia yaitu Amerika Serikat. Saya pribadi ikut tersulut untuk mengetahui perkembangan perihal disahkannya pernikahan sesama jenis yang berangkat dari temuan bahwa homoseks hanya faktor genetik belaka.
Jurnal Achieves of Sexual Behavior memaparkan bagaimana hormon saat dalam rahim (eugenetik) menjadi penentu perilaku homoseksual. Dr. Niklas Langstrom, seorang peneliti besar di bidang orientasi seksual melalui penelitianya dengan objek kembar fratemal menunjukkan kalau hanya ”bakat” yang mempengaruhi seseorang memiliki sifat homoseks.
Dr. Ryu Hasan seorang ahli Neurosurgeon, sangat meyakini bahwa homoseks absolut karena faktor gen. Gen itu yang membentuk otak manusia entah itu konstelasi atau sirkuit-sirkuit di otaknya, dan itu yang mempengaruhi selera seksualnya. Menarik. Apalagi penjelasannya mengenai spesies bernama manusia yang tergila-gila akan pola, atau mungkin maksud lainnya manusia menjunjung tinggi kepastian. Bagi sang dokter, manusia teramat angkuh untuk bisa menyimpulkan manusia dengan mengelompokkanya secara dikotomis, hitam-putih. Manusia teramat jelimet dalam rangkaian spektrumnya. Manusia berada dalam tali interval yang amat panjang sehingga amat konyol apabila diambli jalan pintasnya saja dengan meletakkan manusia pada titik ekstrem kanan dan kiri, dan nanti dalam praktik dimasyarakatnya menjadi nilai benar-salah.
Pernyataanya mengingatkan saya akan ucapan Pram, si nominator nobel, setajam apapun inderamu, kau takkan sampai memahami manusia. Kok tiba-tiba terlintas di otak saya Dzat yang Maha itu. Karena spektrum alam dimana manusia menjadi bagiannya sungguh terlalu liar untuk dipahami oleh spesies yang amat suka denga pola-pola dan sebab akibat.
Dia memang terlalu besar. Pencipta dipahami oleh ciptaanya. Agak mustahil.
Maaf, nilai memang suka ikut-ikut manja.

Kembali ke soal homoseks.
Saya bukan orang yang percaya begitu saja. Terlebih ilmu pengetahuan melakukan regenerasi kebenaran atas dirinya sendiri begitu cepat. Itu yang membuat ilmu pengetahuan dengan satu abad mengalahkan dogma agama, mungkin. Saya cari antitesa dari pernyataan bahwa homoseks tak lebih faktor genetik.
Dean Hamer seorang peneliti yang juga penyandang Gay, awalnya meyakini faktor gen pengaruh terbesar dari perilaku homoesksual. Bukan karena ia penyandang gay tapi karena melalui riset yang melibatkan 40 pasang kakak beradik yang homoseksual.
Hebatnya 6 tahun kemudian Dean Hamer merevisi hasil penelitianya. Ternyata gen bukan faktor utama laki-laki mau berbugil bareng dengan laki-laki. Dean Hamer berjiwa besar meminta maaf. Kalo memang teori konspirasi dan banyak muatan politis atas pemberlakuan halal haramnya homoseks kok saya tidak mendapati opini yang mengatakan kalau Dean Hamer telah murtad dari kehomoseksan-nya. Maksudnya, kenapa kehomoseksan-nya tidak menjadi pertimbangan ketika ia mengutarakan homoseks bukan faktor genetik padahal saat sebaliknya selera subjektifnya membuat hasil penelitianya dianggap tidak objektif. Kurang fair memang.
Seorang ulama besar asal India, Dr. Zakir Naik, yang juga ahli neuroscience pernah ditanya juga soal perilaku homoseks. Saya antusias mengingat dia ahli neuroscience. Tapi yang saya dapat Surat Al Anbiya ayat 74-74, Surat Hud ayat 82-83, Al Qamar 33-38 dan As Syuraa ayat 165-166. Intinya azab bagi kaum Nabi Luth as yang melampaui batas.
Saya menjadi yakin dunia menawarkan keteracakan. Manusia yang akhirnya membuat kategori-kategori berdasarkan apa yang manusia yakini.
Saya tak lepas dari manusia yang dimaksud itu. Karena saya yakin ini soal sudut pandang. Saya punya beberapa kenalan yang tidak percaya akan Tuhan Yang Maha Esa, dan agak saya maklumi. Tapi saya sungguh tidak rela dan maklum akan beberapa orang yang saya kenal mengidap selera seksual yang berbeda dari biasanya. Terkadang saya jijik. Tapi ending dari film Youre the apple of my eye, membelokkan sudut pandang saya seperti pensil di dalam air. Adegan ciuman antar laki-laki yang sebenarnya subtitusi dari bayangan laki-laki kepada perempuan yang dicintainya sebagai penyebab. Persepsi penonton diseret kepada ruang selera seksual. Ternyata ada drive manusia dalam menuntaskan hasratnya dan drive itu tak selamanya nampak, rangkaian spektrum seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Saya menjadi tidak jijik. Malah terselip kagum.
Dan kekaguman saya makin terakselerasi atas nyanyian Farroukh Bulsara, atau yang lebih dikenal dengan nama Freddie Mercury vokalis Queen. Lagu You take my breath away yang ia nyanyikan sebagai penganut biseksual, seperti ia menasbihkan cintanya dengan amat sangat menggebu dan menggali sukmabumi. Caranya menguntaikan lirik dalam interval nada, penekanan suara dan berbalut lirih pada bagian lirik tertentu bak ia menggelar perasaan dari jiwanya secara raksasa.
Maka setahun kemudian setelah liris lagu You take my breath away di album A Day at The Races, Freddie Mercury merayakan kemenangan cintanya melalui tembang fenomenal We are the champions. I’ve paid my dues~
Bisa jadi saya kudung mengidolai Freddie Mercury karena karya-karyanya yang jenius sehingga begitu toleran saya terhadapnya. Freddie Mercury pernah berteriak ke fans laki-laki di di bawah apartemenya : yang memiliki buah zakar paling besar silahkan naik ke kamar saya. Saya tersentak mendapati kabar itu. Tapi kok saya melihat keberanian dan bukannya orang besar macam Freddie si penyembah api selalu punya keberanian yang tak dipunya oleh orang-orang yang tak tertulis tinta sejarah.

Alhasil, ketika dunia menawarkan soal hetero-homoseks, tentu saya punya hak untuk meyakini dan meletakanya dalam kategori apa.

Dalam imajinasi saya entah kenapa Dinosaurus punah bukan karena tak kuasanya lapisan luar bumi menghalau meteor. Dinosaurus punah karena mereka melakukan evolusi selera seksual menjadi homoseks.

Homo Sapiens dari Abad Silam


Legenda mengatakan bahwa dahulu kala manusia mempunyai bahasa yang sama. Berbeda sekali dengan bermacam bahasa-bahasa yang ada sekarang. Dahulu mulut manusia berbuih, meluapkan kata-kata yang berasa-rasa maja kurang lebih bermuka samar. Bahkan mungkin sampai sekarang rasa-rasa maja bermuka samar itu masih dihidangkan bersama luapan beragam emosi dalam kata.
  Manusia atau disebut juga dengan Homo Sapiens berkomunikasi(komunikasi berasal dari kata Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih; yang juga berasal dari akar kata dalam bahasa latin communico yang artinya membagi), berbicara satu sama lain dengan bahasa yang sama sekali tak ada beda. Betapa kebersamaan dan rasa kesamaan yang berharga terjalin erat. Betapa terasa nya bangun saling bahu-membahu dan juga gotong-royong. Sampai pada suatu hari sifat alamiah manusia perlahan mulai terus naik ke atas permukaan.

Manusia  sangat suka berbicara. Saking suka nya berbicara, mereka tiap hari hampir membicarakan semuanya. Mulai dari hal-hal kecil seperti makanan yang terjatuh di lantai, minuman yang sengaja mereka buang karena baunya sudah asing, bagaimana warna kotoran yang mereka keluarkan, sampai juga pada tahap dimana mereka dengan melantangkan suara menyombongkan diri mereka masing-masing. Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin sombong.
   Semakin lama mereka semakin tak tahu diri, membesarkan kebanggaan-kebanggaan yang mereka pajang di tengah masyarakat terhadap figur otoritas diri mereka sendiri. Jika diukur dengan timbangan yang digunakan untuk mengukur logam berat, mungkin sudah overload saking besarnya kepala manusia.
Mereka sudah mulai berani menantang satu sama lain. Sudah berani memulai perpecahan . Secara tidak langsung juga mereka menyatakan, siap berperang asalkan kepenuhan hidup mereka terpenuhi. Kebutuhan dalam hal mengekspresikan perasaannya, melampiaskan emosi dan berbuat agresivitas semaunya.
Jangankan begitu mereka juga sudah sangat yakin dengan akal mereka bahwa yang menciptakan manusia adalah sesuatu yang disebut Tuhan, tengah bersembunyi di balik awan. Menunggu hamba-hamba nya membangun puncak peradaban untuk dapat menggapaiNya.
Tetapi karena kesombongan mereka, mereka entah sengaja atau tidak sengaja menyalahartikan pemikiran tersebut. Menyelewengkan atau bahkan menodai kesucian tentang pemikiran-pemikiran pemujaan terhadap Tuhan . Mereka menganggap Tuhan gampang mereka gapai. Mereka mulai menyepelekan kekuatan atas kebesaran Tuhan.

Akhirnya tiba pada suatu hari dimana awan berarak sangat cepat , matahari bersinar begitu terik, suara burung-burung riuh mengiringi hari itu. Seorang pria dengan kepala bulat berkata, “Ayo kita buat perlombaan, barang siapa yang cepat menggapai Tuhan maka dia berhak atas kekayaan tak terhingga. Kita buat saja bangunan megah dengan menara paling tinggi yang menjulang tinggi ke awan!”. Orang-orang berteriak riuh, sekelompok orang terlihat berubah raut mukanya dan berkeliling di dekat keramaian tersebut. Mereka mulai mengepalkan kedua tangan mereka dan mengangkatnya ke atas, dan menggerakkannya ke bawah terus-terusan. Berulang kali seperti itu.
Hari itu tampak sangat ramai tapi sejak senja tenggelam mulai terasa kepekatan kegelapan yang tak terhingga. Entah kenapa malam itu begitu berbeda dengan pagi hari nya, dimana semua orang bersorak sorai akan diadakannya perlombaan besar-besaran. Malam itu hening. Seolah malam kala itu sengaja menjemput sepi yang mencekam. Sungguh sangat terasa perubahan atmosfir yang drastis. Entah apa mungkin yang terjadi besok.
   Keesokan hari nya, orang-orang berkumpul di suatu tempat yang besar seperti layaknya aula pertemuan di tengah kota. Anehnya ada tiga orang lelaki paruh baya yang tiba-tiba muncul lalu mereka bertiga berteriak,”Jangan! Jangan lakukan”. Lalu lelaki paruh baya dengan jubah hitam berkata,”Kumohon jangan lakukan hal itu”. Sementara lelaki paruh baya yang berada di tengah mulai menangis sambil terisak perlahan dan dengan tenang berkata, ” Jangan”. Sementara lelaki paruh baya yang ketiga menggelengkan kepala sambil sesekali menatap ke atas langit.
 Hari ini semua material untuk pembuatan menara telah disiapkan. Hari ini ada tiga kerajaan yang sungguh besar kekuasaan dan tahta nya telah siap untuk berlomba, sementara bagi penduduk yang hanya berasal dari kalangan menengah ke bawah mereka juga siap. Mereka siap membangun menara megah yang tinggi dan indah untuk kerajaan yang masing-masing mereka banggakan. Tentu hal tersebut sangat miris, karena pada akhirnya orang-orang yang mereka anggap panutan dan sosok pemimpin menggiring mereka, rakyatnya sendiri untuk melakukan kekufuran.

Perlombaan dimulai! Tampak ketiga kerajaan bersaing sengit, semua kekuatan mereka kerahkan untuk dapat memenangkan lomba yang sangat mustahil tersebut. Tapi dengan logika yang mereka anut, hal tersebut adalah mungkin. Dan sah-sah saja mereka berpikir seperti itu toh Tuhan baik dan penyayang. “Lagipula sebenarnya ini hanya untuk mengatasi gengsi antar kerajaan. Bukan benar-benar niat kami untuk menyerang Tuhan. Bukan”. Begitulah kurang lebih yang mereka pikirkan.

Setelah dua bulan perlombaan tersebut berjalan. Mereka semua sudah mulai keletihan. Dari kejauhan salah satu dari ketiga menara tersebut terlihat begitu tinggi menjulang ke awan. Sementara dua bangunan menara yang lain terlihat begitu megah. Tersiratlah bahwa sifat memalukan manusia yang suka bermegah-megahan terhadap sesuatu hal sangat alamiah dan tak dapat ditentang kebenarannya.

Tapi tampak diantara ketiga menara tersebut, tiba-tiba muncul jalan setapak yang entah darimana begitu saja. Tiba-tiba ada. Terlihat ketiga pria paruh baya tersebut berjalan disamping masing-masing menara. Mulai dengan yang memakai jubah hitam. Lalu pria yang matanya membengkak karena menangis, ia mulai menangis dengan mengeluarkan darah.
    Lalu pria paruh baya yang ketiga mulai menggelengkan kepala sambil sesekali menatap ke atas langit. Ia mencari pria berkepala bulat yang mencetuskan ide nya yang sangat bodoh ini. Dengan tatapan mata nya yang tajam ia mencari-cari, lalu kedua bola matanya berputar 360odengan begitu cepat. Sampai pada akhirnya terlihat sosok pria berkepala bulat itu lalu dengan mukanya yang seolah memaki. Pria paruh baya ketiga, berkata sambil berteriak lantang. “Berhenti! Nanti Tuhan marah!”.


Tiga hari kemudian. Setelah hal tersebut terjadi sang pria berkepala bulat yang ternyata merupakan kepala mandor proyek yang ia cetuskan tersebut terlihat menggigil. Dan semenjak hari itulah perlombaan untuk membangun menara agar bisa menggapai Tuhan berhenti. Berhenti karena tiba-tiba tidak dapat terjalin komunikasi antar Homo Sapiens. Berhenti karena semakin mereka berbicara semakin cekcok yang mereka dapat. Berhenti karena terjadi banyak kata aneh yang asing yang mereka dengar yang mereka bahkan tidak tahu apa artinya. Berhenti karena mungkin Tuhan benar-benar marah.

Balada Anak dan Orang Tua

           Sampai kapan sih anak terlepas waktu tuntutan orang tua? Pertayaaan dari seorang teman yang baik yang sedang gundah gulana mengenai pengabdiannya terhadap orang tua. Yang saya pahami mengenai pertanyaan tersebut adalah tentang ketidakpuasan anak terhadap orang tua yang menuntut hal yang dianggap berlebihan oleh anak sehingga nampaknya terjadi ketidaksinambungan antara keinginan orang tua dengan keinginan anak. Dalam hal ini si anak tentunya memiliki pemikiran yang tidak sejalan dengan orang tua, yang dalam hal ini orang tua memiliki otoritas yang berlebih hingga si anak kesulitan menyampaikan pemikiran dan ide-idenya karena ketakutan yang dalam akan ancaman dimarahi, cap anak durhaka, melawan orang tua, dikucilkan, diasingkan dalam keluarga hingga pada tahap yang lebih parah diusir dari rumah karena dianggap desertir. Hal ini memancing harapan untuk segera berakhirnya masa tuntutan dari orang tua.

            Sebelum membahas lebih jauh mengenai konflik ini, selayaknya kita perlu mengetahui bahwa yang menjadi dasar orang tua yang menetapkan peraturan yang dirasakan keras oleh sang anak adalah rasa cinta. Meskipun demikian, cinta dan kasih sayang yang dijadikan landasan untuk berperilaku keras tidak dapat serta merta dibenarkan. Meskipun bertujuan mulia, namun proses dapat merusak tujuan yang menyebabkan tujuan tersebut tidak dimaknai secara positif oleh sang anak, karena bagaimanapun masih ada cara yang lebih lembut -meskipun sulit- untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia. Namun yang menjadi beban disini kita juga harus memperhatikan pengalaman orang tua yang menyebabkan mereka menjadi terlalu cemas akan masa depan anaknya, yang dapat dikategorikan menjadi salah satu biang keladi atas perilaku keras orang tua terhadap anak.

             Kerasnya pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, tak lepas dari pengalaman hidup orang tua yang bersangkutan, teman saya mungkin hanya salah satu contoh, namun saya yakin di luar sana banyak yang mengalami hal serupa. Pengalaman hidup para orang tua yang otoriter ini di masa lalu mungkin penuh dengan keterdesakan, perlombaan, dan perjuangan keras untuk mendapat pengakuan dari lingkungannya. Dalam lingkungan yang keras, bisa saja orang tua otoriter ini tidak menginginkan sang anak mengalami penderitaan seperti yang mereka alami, pengasingan dari lingkungan karena tidak menjadi orang sukses sesuai tuntutan masyarakat, atau bahkan alasan yang paling negatif adalah karena dendam terhadap pola asuh orang tuanya dulu maka kini mereka melampiaskannya kepada sang buah hati. Berbagai motivasi tindakan otoriter dalam keluarga tentunya dapat terjadi di sekitar kita, untuk mengetahui penyebab pastinya tentunya diperlukan penelitian lebih jauh mengenai subjek.

             Penerimaan anak terhadap pola asuh otoriter mungkin berbeda-beda, karena disini kita membicarakan mengenai manusia saya yakin bahwa kebanyakan anak akan merasa keberata dengan pola asuh yang demikian. Seburuk apapun keadaan, bukankah cinta, kasih sayang dan kelembutan adalah obat paling mujarab untuk meredakan hati yang meradang karena hantaman lingkungan. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap individu memerlukan ruang untuk diberikan kesempatan menjalankan hidupnya, sementara pada pola asuh otoriter kita hanya menemukan boneka bernama anak yang dikendalikan oleh dalang bernama orang tua. Bukankah sangat ironis jika ada sebuah kehidupan yang tak menghidupi, ia ada tapi tak pernah bisa menunjukkan keadaannya. Tertekan oleh aturan-aturan yang dibuat tanpa kesepakatan, perintah yang harus dipatuhi sepenuhnya tanpa kita tahu mengapa, dan yang lebih menyedihkan adalah tekanan tersebut dilakukan oleh orang yang paling kita cinta. Freud bahkan pernah menyebutkan bahwa ketakutan terbesar seorang anak adalah takut untuk dibunuh oleh kedua orang tuanya, sebuah analisa yang menghenyakkan kita betapa sebuah kasih sayang bisa menjadi bumerang yang menghancurkan jika hanya diambil jalan pintasnya saja. Tempa dan jadilah. Hei!, Kami bukan benda!.

            Sikap orangtua terhadap keinginan anak yang bebeda dengan pandangan mereka seharusnya disikapi dengan santai saja, tentunya anak bukanlah boneka wayang yang bisa setiap saat dikendalikan, dan orang tua bukanlah dalah yang setiap saat bisa melakukan kontrol terhadap anak.        Untuk kasus ini saya rasa orang tua perlu menyadari bahwa mereka tidak akan hidup selamanya di dunia, untuk itu rasanya diperlukan persiapan untuk membebaskan anak sebagai tindakan berjaga-jaga saat nanti mereka tak bisa berada di sisi anak setiap waktu. Orang tua juga harus memiliki empati lebih terhadap anak. Sebuah keadaan dimana mereka merasakan dalam posisi sang anak yang masih dalam proses pencarian jati diri, dimana proses ke akuan masih belum terbentuk, tentunya dalam prosesnya mereka pasti melakukan perubahan-perubahan untuk mencari cara hidup yang cocok untuk mereka jalani. Orang tua harus menyadari bahwa luka dapat sembuh,  jangan terlalu cemas anak akan terjatuh karena mereka akan bangun kembali, jatuh lagi, bangun lagi dan kemudian mereka akan mengambil bekal dari pengalaman jatuh bangun itu. Kahlil gibran dalam sebuah karyanya bahkan pernah menyebutkan; “ anakmu bukan anakmu” untuk menjelaskan betapa sebenarnya anak memiliki kehidupannya sendiri secara terpisah dari orang tua. Maka , orang tua juga harus belajar untuk lebih kenal dengan anak, jangan sampai anak lebih mengenal orang lain dibanding orang tuanya, karena untuk dapat saling memahami diperlukan kehangatan bukan pengadilan. Jadilah sahabat yang baik, mulailah pembicaraan lebih dulu dengan sabar, nada rendah, nafas teratur, wajah simpatik, dan berilah ruang kepada anak untuk mengendalikan hal-hal yang ingin diutarakan. Karena orang tua berada pada pihak otoritas, maka ciptakanlah situasi dimana anak merasa nyaman mengutarakan keperjakaannya yang telah hilang dengan gamblang tanpa merasa harus dihakimi, kemudian berikan penjelasan yang baik dari sisi biologis, kimiawi, humanisme dan sosial juga agama yang menenangkan. Jika orang tua tidak tahu caranya maka belajarlah dari berbagai sumber, bukankan konsep belajar adalah seumur hidup?

            Untuk lebih meyakinkan, perlu ditekankan bahwa jika pola asuh yang diktator tersebut dipertahankan maka kita akan memperpanjang baris pewayangan, dimana individu hanya hidup untuk dikendalikan dan mengendalikan orang lain tanpa pernah merasakan pengendalian terhadap diri dan kehidupannya sendiri. Bukankah para orang tua juga dulu pernah (paling tidak) merasakan penindasan yang sama, lantas apakah layak meneruskan ketidakbaikan yang hanya akan menimbulkan sedikit kebaikan dan banyak ketidakbaikan yang lain?

            Yang tidak kalah penting adalah kesadaran anak terhadap perlakuan orang tua, dalam hal ini tentu memerlukan juga perngertian yang sama. Jangan pernah gunakan standar ganda dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan dua kubu, jika sebelumnya saya menjelaskan bahwa orang tua harus berempati terhadap keadaan anak, maka selanjutnya saya rasa hal yang sama juga perlu diberlakukan untuk anak. Siapkan hati, hentikan rengekan. pada awalnya kita perlu membahas bahwa anak perlu tahu di masa lalu, betapa orang tua telah berjibaku dengan kehidupan keras. Keringat, air mata dan harga diri tak jarang menetes demi menghidupi keluarga, betapa sebuah pengorbanan yang hebat telah dilalui para orang tua untuk melihat senyum di wajah imut sang anak. Kita perlu menyadari bahwa untuk mengerti dan lebih legowo terhadap sikap keras orang tua terhadap anak, kita perlu mengenal lebih jauh kehidupan orang tua bahkan hingga saat dimana orang tua dilahirkan, seperti apa keadaan saat itu, mulai dari ekonomi, politik, sosial, budaya, biologis, dan juga berbagai keilmuan dan peristiwa yang bisa mempengaruhi jasmani dan rohani orang tua, hingga saya rasa ini sangat berhubungan dengan cara orang tua memperlakukan anak di masa kini. Pengetahuan terhadap pengalaman hidup dan masa lalu orang tua sangat diperlukan, karena tak ada pengertian tanpa pemahaman.

            Langkah berikutnya setelah anak mengetahui masa lalu orang tua adalah mulai membicarakan perbedaan pemikiran untuk mencarikan solusi, untuk memulai pembicaraan kita harus memupuk keberanian, kesabaran, dan kesadaran diri. Keberanian diperlukan untuk memulai pembicaraan dengan baik, dengan hangat layaknya ingin curhat dengan teman namun dengan bahasa yang lebih santun. Mungkin kita sering meremehkan faktor keberanian ini, namun coba saja kita bicara dengan pihak yang dianggap lebih tinggi, lebih benar, dan lebih berkuasa. Kita analisa dan bandingkan dengan sikap dan cara bicara kita terhadap pihak yang lebih lemah, kecil, dan tak berdaya. Maka akan kita temukan perbedaan yang nampak pada bagaimana kita merespon lawan bicara , jadi keberanian adalah faktor awal yang penting. Kedua adalah kesabaran, harus siap bersabar untuk menerima resiko penolakan, bentakan, hardikan, makian, dan peremehan yang dilakukan orang tua. Hal ini dapat terjadi karena hal yang akan disampaikan bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi juga respon baik, didengarkan, diperhatikan, bahkan diakomodirnya kepentingan kita oleh orang tua. Namun bersiap untuk respon yang memancing emosi negatif adalah lebih baik, karena langkah mediasi yang sarat emosi akan sangat mengganggu hal baik yang ingin disampaikan. Ketiga adalah kesadaran diri.

            Untuk membahas mengenai kesadaran diri, anak terlebih dahulu harus belajar untuk mengukur diri sendiri. Selain tinggi badan, berat badan, warna kulit dan mimik senyum paling manis yang bisa kita tunjukkan di depan kamera, kita juga perlu mengukur bagaimana perasaan kita sendiri, bagaimana emosi kita, kecerdasan, kemampuan khusus, kemandirian, dengan siapa kita tinggal, kebermanfaatan untuk diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Jika ingin melakukan pengukuran sosial semacam itu, maka anak juga perlu membandingkan dengan individu di sekitarnya untuk mendapatkan nilai-nilai umum mengenai batas kabur antara anak baik dan anak bandel mungkin. Setelah mengukur diri sendiri, lakukan penerimaan terhadap diri sendiri dengan menggunakan pola pikir bahwa kurang lebihnya diri adalah keadaan yang tidak dapat ditolak, dalam bahasa agama mungkin bisa disebut takdir. Sampai pada titik ini anak harus sadar bahwa ketergantungan terhadap orang tua adalah pemicu utama terjadinya pengendalian berlebih dari orang tua. Tidak perlu sampai terlalu jauh untuk menghidupi orang tua, coba kita bayangkan jika anak telah bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya sendiri, maka konflik pasti berkurang drastis karena anak tidak perlu meminta apapun dari orang tuanya untuk melakukan banyak hal karena anak telah memiliki kemapanan mental dan fisik yang terwujud dalam kebijakan berpikir dan kestabilan finansial. Jadi, ketika masih banyak konflik dengan orang tua,  kesadaran utama yang harus diterima beserta segala konsekuensinya adalah bahwa anak belum mandiri.

            Solusi alternatif tersedia untuk yang memang belum bisa mandiri, karena jujur, penulis juga masih sangat tergantung dengan orang tua di usia yang dewasa ini. Sebagai anak, yang bisa dilakukan adalah menyadari bahwa ini adalah tahap berkembangan yang berlangsung dalam jangka waktu yang berbeda-beda pada tiap individu. Sebagai contoh, artis cilik Baim telah stabil dan mandiri secara finansial di usia balita, sementara Steve Jobs pendiri APPLE baru mendapatkan kestabilan finansial di usia tiga puluhan (jika kita bicara finansial, karena kemandirian biasa terkait masalah ini untuk lepas dari kendali orang tua) . Setelah itu maka kita harus menunggu keadaan berubah seiring dengan waktu, semakin lama kita menabung, berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka arah kepada kemandirian akan semakin dekat. Maka untuk saat ini tunggu saja, karena secara biologis sel-sel di tubuh kita juga memerlukan waktu untuk berkembang dan matang. Jangan takut untuk gagal, karena pasti ada waktunya anak berhasil dan sadarilah bahwa setiap hari sel-sel yang mati berganti kembali dengan sel yang baru. Begitulah semangat hidup, tetap jaga harapan akan kemandirian dan terbebas dari ikatan, karena suatu hari kita pasti bebas, paling dekat lihat saja para orang tua, kebanyakan dari mereka telah bebas dari orang tuanya. 

            Cara terakhir untuk menyelesikan konflik antara anak dan orang tua adalah cara yang paling brutal dan menuntut nyali singa, menurut saya. Berontak saja dan secara tegas namun lembut katakan segala yang kita mau. Jika tidak diberikan, paksa dengan lebih tegas dan menuntuk hak sebagai anak dengan prinsip keadilan dan kasih sayang. Jika tetap tidak diberikan kebebasan ada beberapa cara lagi, pertama tetap dirumah namun menjadi pemberontak dengan tetap menjalankan cara yang kita mau (tebal telinga). Kedua adalah berontak dan tinggal diluar rumah dengan kemampuan seadanya yang pastinya akan menuntut kemampuan untuk menelan timah panas kehidupan luar dengan lambung baja!. Kemudian biarkan hukum rimba berbicara.

            Sahabat yang baik, tentunya kita tidak pernah menginginkan konflik keras terjadi hingga menjadi bom waktu yang sangat menakutkan, bukankah keluarga diciptakan untuk menjadi pelipur lara dari kerasnya rimba masyarakat. Bagi anak dan orang tua ada baiknya perbanyak waktu berkualitas untuk mengobrolkan hal-hal sensitif bagi kedua pihak dalam suasana yang mendukung. Bagaimanapun, jangan terlalu sering mengorbankan diri sendiri untuk hal-hal yang sering membuat kita sedih. Karena pada awalnya, dasar untuk mencintai dengan baik adalah kita harus mencintai diri sendiri, berikutnya barulah kita bisa mencintai keluarga, teman, dan lingkungan sekitar kita. Untuk mengalihkan penantian yang membosankan akan kemandirian yang sepenuhnya, mungkin kita bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama orang-orang menyenangkan.  Untuk melakukan perubahan besar memang mahal harga yang harus dibayar, namun dalam hidup seperti kata Sammy sang komedian “everything has a prize”


Dari sahabatmu, yang sedang menyicil kemandirian. Merdekaaa!!!

Bertemu tuhan


Sepuluh orang diculik malaikat untuk bertemu Tuhan termasuk saya. Kesepuluh orang itu melingkar di arsy Nya. Setiap orang diwajibkan bertanya satu hal. Apapun itu.
Orang yang dapat giliran pertama bertanya : Bagaimana Tuhan, rasanya disembah-sembah dan mengurus triliunan makhluk?
Setiap pertanyaan tidak langsung dijawab. Aku sendiri penasaran, jawaban apa yang akan Tuhan sampaikan. Atau minimal aku ingin tahu bagaimana cara Tuhan berkomunikasi dan bagaimana pemilihan katanya.
Orang kedua bertanya : Tuhan, saya ingin tahu adonan apa yang Engkau pakai ketika membuat objek kenangan di otak manusia?
Aku terkekeh, mendengar kata adonan. Seakan-akan Tuhan juru masak.
Orang ketiga : Tuhan. Saya perlu pencerahan. Saya lagi berusaha lepas dari kebiasaan saya yang suka kasihan dengan orang lain. Suka bersedekah agar hidup orang yang saya sedekahi lebih baik. saya berpikir kebiasaan saya itu justru dosa saya yang tak terampuni. Dulu saya punya pembantu yang tidak becus kerja tapi dengan alasan kasihan saya urung untuk memecatnya. Karena pikiran saya, ia dapat uang darimana kalau tidak bekerja ditempat saya. Tapi ada sesuatu yang menggugah saya, bahwa Engkaulah sumber dari segala sumber. Engkaulah yang berhak atas segala pengakuan. Akhirnya saya memecat pembantu yang tidak becus itu karena saya yakin Engkau telah menabur rejeki yang maha luas.
Tindakan saya memecat tepatkah Tuhan? Sementara pembantu yang tidak becus itu sekarang mengalami gangguan jiwa sehingga membuat saya merasa bersalah.
Orang keempat diam cukup lama. Semakin membuat suara gemericik air dan lenguhan burung yang tiada perbandingan di dunia, sungguh memanjakan telinga. Mungkin suara ini suara surga.
Orang keempat tak juga buka suara. Entah dia sedang memilah segudang pertanyaan sehingga mengerucut menjadi satu yang paling krusial.
Orang keempat : Tuhan. Saya tidak ingin bertanya, saya ingin engkau pilihkan agama apa yang cocok buat saya.
Orang kelima : Kau curang Tuhan. Baru kemarin saya menyempurnakan ketidakpercayaan saya akan Engkau. Kenapa kau malah menarik saya untuk bertemu denganMu?
Orang keenam : Sepele Tuhan. Boleh atau tidak, kalau saya kembali lagi ke bumi untuk mencium kening anak saya yang cita-citanya menemukan kepastian darimana sebenarnya asal-usul manusia?
Orang ketujuh : Begini Tuhan. Saya sering bilang ke berbagai orang. Jika suatu saat saya lagi merasa jenuh di surga, saya ingin menyambangi bumi. Menyambangi tempat-tempat yang berkesan berserta orang-orang yang terlibat didalam kesan tersebut. Sebelum saya melakukan itu nanti, saya ingin bertanya dulu, apa ketika saya menyambangi bumi dengan orang yang spesial atau sebut saja nostalgia hanya akan mengurangi nilai dari sebuah kenangan?
Orang kedelapan : siapa yang lebih mulia untuk dijadikan istri wahai Tuhan? Zaenab atau Sarah?
Kini giliran saya. Saya seperti kehabisan kata-kata. Bertemu tuhan sesuatu yang menakjubkan. Jujur saya tidak tau harus menanyakan apa. Sudah terbiasa untuk beriman secara kaffah terhadap Tuhan, dan tidak pernah tertarik untuk memperdebatkan.
Tapi mata 9 orang yang melingkari  arsyNya memaksa saya untuk mengajukan satu pertanyaan.
Ini pertanyaanku : ya Allah kenapa engkau memberikan amanah kepadaku untuk menjadi khalifah di bumi. Saya orang yang penuh dosa. Sering melalaikan perintahMu. Sering bertikai dengan orang lain. Kenapa ya Allah?
Ada tawa yang menggelegar. Tawa itu berasal dari orang disebelah saya. Orang kesepuluh.
Ia bukan orang. Ia setan yang menjelma.a
Kata setan, pertanyaan yang saya ajukan ialah pertanyaan yang triliunan tahun lalu diajukan oleh malaikat dan diklimaks-kan oleh setan.
Pertanyaan itu menjadi dramatis karena diajukan oleh makhluk yang dulu dibela mati-matian sama Tuhan sampai rela mengutuk setan-sang ahli ibadah.
Saya menangis, ingin sekali berlari memeluk Tuhan. Tiba-tiba suara ketawa Mamah dedeh yang khas di acara stasiun televisi membuat saya terjaga. Saya melihat ibu saya duduk anteng di depan tv.
Saya menyeka airmata, sambil mengeja rupa Tuhan yang tak jelas saya lihat barusan.
Sebuah Dialog Senja
Suatu hari. Seolah-olah Senja berbahasa padaku.
Senja:
”Izinkan aku berjalan, berjalan perlahan, perlahan memberi cahaya terang, terang yang menggemakan alam. Sampai saatnya nanti aku tenggelam”.
Aku:
Ingin kusampaikan padamu dalam khidmat, dari relung-relung yang tak layak ditelusuri.
 Melalui kontak batin yang melayang entah kemana.
Senja, aku menyayangimu. Dalam bentuk fana mu.
Dalam warna-warna jingga mu.
Dalam bentukmu yang bahkan tak berbentuk,
Ada doa orang-orang di tiap tiap mu, Senja. 
Doa doa itu mengalir dengan teduh, tiap kau bergulir dan tiap kau berlalu. 
Tiap kau terlihat maupun kau tertutup awan.
 Seperti ada payung yang selalu siap memayungi. Teduh itu mengalir.

Tapi Aku.. Aku hanya bisa berpura-pura fana.
Aku selalu bersamamu dalam bentuk angin yang bertiup.
Tertiup dan bertiup, menerpa dan membawa. Membawa sepi.
Sehingga terbawalah aku disini dan tertoreh hati.
Bersiul..
Bersiul hingga bahagia datang. Bersiul hingga datang bahagia.
Bahagia datang..
Datang bersama-sama menjemput nanti.
Tapi aku tetap tertoreh hati, padamu.
Senja hanya membalas dengan gentar.. 
Terdengar sedikit gemetar dan samar. “Baiklah aku pergi”, katanya.

Sedangkan aku dengan tegas membalas, “ Aku akan tetap disini, Senja”.

Motivator, Riwayatmu Kini

Motivasi, sebuah kata yang saat ini dipuja oleh banyak masyarakat. Kata-kata yang mengandung aftur untuk membakar jiwa-jiwa yang dianggap kurang aktif, kurang baik, kurang memberikan sumbangsih positif untuk dunia. Di media, berbagai acara diadakan untuk memberikan motivasi, hingga motivasi merambah ke berbagai sudut hidup manusia. Dan seolah hidup tak boleh santai, orang-orang yang memilih untuk hidup lambat-lambat saja dikondisikan seolah sampah bagi masyarakat dengan tidak menggunakan potensi yang ada di dalam dirinya secara maksimal. Namun ketika kita bandingkan dengan kenyataan hidup, benarkah hal yang demikian? Berbicara mengenai motivasi tak dapat terlepas dari peran orang yang menyampaikannya atau motivator. Karena penulis menganggap motivator ada yang orang yang paling bertanggungjawab terhadap pengarahan opini publik dari motivasi yang disampaikan, maka tulisan ini mencoba menilik dari sisi berbeda terhadap kedigjayaan motivator dalam jagad cendikia.

Motivator kerap mengarahkan sebuah keadaan yang dikondisikan menjadi sesuatu yang dirasakan lebih berguna untuk dilakukan, tentunya hal ini tidak terlepas dari bias pribadi sang motivator. Dapat kita gambarkan sebagai sebuah ide yang dianggap lebih tinggi daripada ide-ide yang lain (hampir fasis) . Dapat dilihat dalam pengarahan opini terhadap nilai-nilai kebenaran sang motivator seolah yang lain perlu diabaikan dan hanya pemikirannya yang harus dihiraukan. Menurut kelakar dari seorang komika dari Bandung, Soleh Solihun: “motivator berperan penting dalam penyebaran MLM yang memiliki perhitungan keuntungan yang tidak jelas, MLM jelas tidak produktif karena hanya bermodalkan rayuan-rayuan terhadap downline dan anda bisa kaya! Hidup belum lengkap tanpa ketipu MLM”. Skema ponzi game dapat menjelaskan fenomena ini secara lebih gamblang, semakin sebuah MLM berkembang dan downline semakin banyak maka produktivitas penerimaan downline baru sebagai sumber pendapatannya akan berkurang, dan saat itulah sebuah MLM akan runtuh. Dari sini jelas terlihat bahwa ini hanya permainan uang dan sumber dana yang dimiliki adalah dari member-member baru.

Peran motivator bagi berkembangnya bisnis permainan uang ini adalah dalam memberikan motivasi untuk mengambil member baru, dalam setiap kesempatan seminar diberikan motivasi-motivasi oleh para motivator handal. Memberikan agitasi sumbang tentang bagaimana kita menjalani kehidupan yang salah selama ini dengan bekerja untuk uang bukannya uang yang bekerja untuk kita. Menunjukan kesalahan yang telah betahun-tahun kita jalani tanpa sadar telah membawa kita pada kerapuhan finansial. Bagaimanapun, pandangan yang dijadikan dasar motivasi untuk ikut program yang dicanangkan secara berapi-api tersebut akan berujung pada keuntungan member yang telah lebih dulu mendaftar, dan untuk yang belakangan mendaftar harus mencari member baru di bawahnya agar bisa mendapat penghasilan berkelanjutan. Pada akhirnya kita tetap harus bekerja juga kan, namun kali ini berbeda, kita menjadi pekerja untuk mereka tanpa status karyawan, tanpa jaminan kontrak kerja Jamsostek, target tanpa batas, kesehatan, jam kerja, peraturan kementrian tenaga kerja, dan sederet fasilitas lainnya yang bisa kita dapatkan dengan metode kerja konvensional. Namun bukan sepenuhnya tanggung jawab motivator, saya rasa ini juga tanggung jawab kita yang seharusnya memiliki pandangan hidup dan prinsip yang jelas untuk menjadi titik berangkat kita yang menjadi dasar, sebuah alasan kemengapaan dari semua yang kita jalani, untuk ini saya rasa kita harus lebih banyak merenung (baca:berdiskusi dengan diri sendiri).

Jika ingin menilik lebih jauh, maka rasanya kita patut membahas masa ketika kita dibuat dalam rahim ibu. Dalam rahim ibu, kita telah dipantau oleh berbagai pemeriksaan untuk memastikan bahwa kita terlahir menjadi bayi yang sesuai dengan prinsip-prinsip bayi sehat yang ditetapkan oleh para ahli. Nutrisi yang menjadi asupan sang ibu harus dijaga agar bergizi tinggi untuk mendukung perkembangan sang bayi, dan beberapa bulan kemudian kita lahir, beberapa dari kita dipilih tanggal unik untuk kelahirannya dengan metode lahir yang dipaksakan. Kemudian setelah lahir kita diberikan berbagai fasilitas yang diharapkan dapat merangsang pertumbuhan kita dalam segi motorik halus, lalu kita seolah berlomba untuk siapa lebih cepat berjalan dan berbicara. Setelah beberapa tahun berlalu sudah tersedia arena untuk kompetisi baru untuk membaca dan berhitung, kemudian seleksi masuk taman kanak-kanak. Dan berakhir pada pemilihan lokasi kubur.

Kita dapat melihat perlombaan besar-besaran umat manusia untuk mencapai prestasi tertinggi dalam berbagai tahap perkembangan, hal ini tentunya menimbulkan persaingan yang didalamnya terjadi pergesekan, benturan bahkan hantaman. Pada akhirnya semua kompetisi ini mengarah pada pemenang dan pecundang, para pemenang menikmati tahta kemenangan dengan pujian dan sanjungan sementara pecundang merasa tersisih dan gagal. Berbicara mengenai kompetisi-kompetisi ini rasanya kita juga harus membawa serta pengarahan hanya terhadap beberapa bakat saya bagi manusia dan kesemuanya dapat disimpulkan sebagai kemampuan yang bisa mendatangkan banyak uang bagi kesejahteraan. Saya rasa kapitalisme dapat disalahkan atas perlombaan yang tidak adil ini mengingat setiap manusia memiliki perbedaan dalam minat dan bakatnya dalam memahami dunia kemudian tersisih karena beberapa pekerjaan lebih menghasilkan lebih banyak uang daripada yang lainnya. Berbagai kemampuan memang dibutuhkan untuk mengerjakan berbagai tugas kehidupan, bahkan tukang sampah pun punya posisinya yang penting di lingkungan kita. Menurut teman saya, Tak ingin tersisih dan ingin memiliki eksistensi adalah kebutuhan mendasar setiap manusia. Jadi rasanya sangat wajar jika banyak orang tak ingin menjadi pecundang atau miskin harta benda, karena untuk mencapai tujuan itulah terkadang kita sendiri terseok-seok untuk mewujudkannya, maka kita membutuhkan motivator untuk membakar semangat kita mendapatkan apa yang diharapkan masyarakat untuk dimiliki, namun apakah kita hidup untuk memenuhi harapan orang lain? Bagaimana dengan keinginan diri sendiri? Di sini saya bukan mencoba egois, hanya saja saya rasa kita harus memberikan ruang bagi diri sendiri dan publik pada proporsinya masing-masing, jika tidak akan ada salah satu yang tergagahi, universalis vs pax romana.

Pertanyaan berikutnya yang mengganjal adalah, apakah salah menjadi pecundang dalam satu sisi kemampuan sementara banyak kemampuan lain yang kita miliki namun sering terabaikan?. Jika jalan hidup yang datar dan sunyi, jauh dari keramaian dan harta benda yang berlimpah adalah salah maka bagaimana mungkin Sidharta gautama meninggalkan istana yang megah untuk mencari kesejatian dan hidupnya dan mencapai nirwana dalam kesederhanaan?.  Di sinilah kekesalan penulis terhadap para motivator yang menganggap jalan hidup yang cukup-cukup saja sebagai sebuah kesia-siaan, sepertinya tak akan cukup melahap dunia dan seisinya maka kita harus juga menggigit potongan akhirat. Meskipun saya akui, memiliki keamanan finansial memang terlihat nyaman dan menjanjikan, namun bagaimana dengan mereka yang telah berjuang dan tetap mendapatkan hasil yang biasa-biasa saja atau bahkan gagal. Sampai pada titik ini motivator terlihat seperti seseorang yang ingin menghina akal sehat dengan menyalahkan faktor manusia namun meminta kita untuk berserah kepada tuhan. Terkadang yang sering tidak diacuhkan adalah kenyamanan seseorang pada titik tertentu yang ingin dipertahankannya, bisa jadi karena ia merasa cukup lelah untuk terus mengejar atau memang tidak menginginkan yang gemerlap dan bertahan dimana ia berkata “cukup saja sudah baik”.

Dilihat dari sisi kebutuhan akan motivator, sebenarnya kita semua bisa menjadi motivator yang baik bagi diri sendiri, namun mungkin pengaruh pendidikan yang lebih menghargai daya hafal kita dibanding daya analisan dan olah pikir melalui logika, maka cara kita menyelesaikan masalah pun cenderung mendengarkan dan menghafal saja panduan dari orang-orang yang dianggal lebih tau, lebih bijak dan lebih mumpuni dalam hal ekonomi ( merajuk pada anggapan umum saat ini bahwa orang kaya harta adalah manusia paling unggul di bumi). Anggapan umum yang diterima sebagai kebenaran ini menjadikan kita menganggap remeh potensi diri untuk berpikir dan menentukan hidup kita sendiri, jalan yang harus kita tempuh dan berbagai prinsip yang mendasari sebuah tindakan bagi sebuah tujuan. Maka secara logika kita telah lumpuh, kegunaan otak untuk berpikir dan hati untuk merasa dikerdilkan dan digantikan oleh kemampuan mengangguk yang mumpuni, maka untuk itulah kita membutuhkan motivator lebih daripada sebelumnya, dan fenomena ini juga terjadi pada segi keimanan yang tidak akan saya bahas pada tulisan ini. Meskipun sebenarnya hal ini berhubungan erat dengan bagaimana kita dididik, namun saya rasa kita punya pilihan setelah mengetahui sekelumit fakta tandingan yang selama ini diabaikan.

Kemampuan manusia dalam menentukan apa yang ingin dijalani sebenarnya setara-setara saja dengan kemampuan motivator dalam mengkonsepkan hidup seseorang. Sebagai contoh adalah masyarakat baduy, mereka hidup tanpa apa yang kita sebut perkembangan, mereka memilih mempertahankan tradisi layaknya kaum konservatif, tanpa kekerasan dan membiarkan alam yang mengambil alih proses-proses seputar kehidupan. Dengan prinsip yang demikian keasrian bertahan, sumber air yang baik, udara yang bersih, panen yang cukup untuk makan, selebihnya dijual untuk kebutuhan yang hanya bisa didapat dari luar. Sebuah kehidupan anti progresi yang arif, meskipun belakangan anak-anak muda disana mulai tertarik dengan modernisasi, namun terlepas dari pengaruh tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa ini merupakan salah satu opsi cara hidup yang baik. Hal ini tentunya bertolak belakang dari anggapan umum para motivator bahwa hidup harus berkembang, keluar dari zona nyaman lebih lebih tepatnya. Namun saya rasa mempertahankan zona nyaman juga memiliki tantangannya tersendiri.

Nampak jelas bagi saya bahwa sebenarnya kita tidak membutuhkan motivator untuk membuat kita bisa memahami jalan hidup yang harus kita tempuh. Secangkir kopi dan kacang rebus sambil berdiskusi dan berkelakar mengenai gado-gado rasanya memberikan efek yang lebih memompa semangat kita untuk memaknai hidup lebih dari sekedar harta benda yang dijanjikan muluk-muluk oleh motivator. Pada akhirnya, bukankah hasil adalah hak prerogatif sang pencipta? Nikmatilah, dan lakukan dengan cara kita. Tulisan ini mengingatkan saya akan salah satu lirik lagu Frank Sinatra; My Way, “i did it my way”. Mengesalkan, melalui tulisan ini ternyata di akhir saya sadari bahwa secara naif saya telah menjadi motivator.

Diam

kepada raja malam, akankah rindu terbuang
hatiku kelam dan hanyut dalam-dalam
sorotan mata dalam pancaran sinaran, hanyut terbawa partikel dirimu
ikut merasuk buta kala, mengikuti asmara pancaroba

aku tau bahwa diri tak bertuan, tak pernah terjebak dalam balutan 
hingga berlalu pamer laga dalam cahaya dan suara
aku masih tetap merasa detaknya, detakmu, detak kita
yang menyatu dalam cinta yang tak pernah ada

raga boleh terpisah, namun dalam dimensi hatiku kau tak pernah
jika rindu ini adalah dosa, maka biar kutanggung segala derita
hingga kau tak lagi menyadari, bahwa dalam diam, aku cinta

Buah Kemiskinan

Langit saat itu berwarna kelabu. Gumpalan-gumpalan awan pucat berarak seolah menuju ke arah kami. Aku berdiri bersamanya dengan penuh ragu dan curiga. Tatapanku saling lempar antara bangunan di depanku dan benda yang berada di genggaman tanganku.  Dengan tanda tanya yang berdesakan memenuhi kepala, pada akhirnya kami memberanikan diri untuk memasuki bangunan tersebut.

MUSEUM KEMISKINAN

sebagai Bukti Bahwa Kemiskinan Pernah Hidup di Sini Lalu Tiada

Pernah

Dalam keseharian, setiap kita pasti memiliki sebuah peristiwa yang menempatkan kita pada sebuah posisi yang mendebarkan, penuh tantangan, dan yang paling berharga dirasakan mungkin adalah hadirnya teman atau keluarga untuk melalui saat tersebut bersama, hingga tercipta kenangan­-kenangan akan kebersamaan. Bagi beberapa orang mungkin ini hal yang remeh, setelah sebuah kegiatan berlalu ya berlalulah sudah, tah ada ikatan lagi, tak ada sisa energi kebersamaan yang dapat dirasakan. namun untuk orang seperti saya yang menghargai kenangan (baca:pendendam) tentunya sangat sulit melepaskan saat penuh kebersamaan itu.

Baru­-baru ini, saya mengalami peristiwa kebersamaan yang kental dalam sebuah pentas drama, bahkan rasanya bukan hanya saya, karena beberapa teman melalui media sosial juga mengungkapkankan, hal ini menggelitik saya mengenai nilai sebuah kejadian bagi individu yang mengalaminya. Di lain sisi saya juga pernah memiliki rekan seperjuangan yang ketika hal yang diperjuangkan bersama telah selesai maka usai pula segala rasa dan konektivitas yang pernah ada. bahkan silaturahmi sekedar bertegur sapa di media sosialpun enggan terasa. Beberapa kali saya memulai percakapan terlebih dahulu, namun seiring waktu rasanya bosan juga selalu menjadi yang memulai silaturahmi. Jadi sebaiknya disudahi.

Menurut Decay Theory (Atropi), teori ini beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali (rehearsal). Informasi yang disimpan dalam memori akan meninggalkan jejak­-jejak (memory trace) yang bila dalam jangka waktu lama tidak ditimbulkan kembali dalam alam kesadaran, akan rusak atau menghilang. Berdasarkan teori tersebut, kenangan-­kenangan yang terpatri dalam otak seseorang memiliki masa tenggang, apalagi jika tidak dilakukan pengulangan terhadap ingatan tersebut, namun untuk ingatan-­ingatan yang berkesan rasanya akan lebih sering terulang di otak dan meresap hingga ke hati, saya rasa inilah sebabnya beberapa kenangan sulit terlupa, karena sering terulang dalam ingatan.

Waktu memang menjadi penentu rasa yang tak pernah terungkap dalam sebuah pertemuan, namun seiring berjalannya waktu , kenangan-kenangan akan saat­-saat yang dilalui bersama menjadi berharga. Seolah tak pernah hilang, melekat bagai cairan gula yang kental pada bulu kucing. membahas spektrum yang lebih luas dalam kenangan, rasanya tak pernah lepas dari masa kacil. masa di mana dunia masih terasa baik­- baik saja, angin sepoi­-sepoi, udara segar, dan matahari bersinar cerah setiap pagi. Meskipun mendung kita dapat menikmati penantian akan hujan yang datang untuk menambah keasyikan bermain (saya rindu saat-­saat itu). dan hal menggelikan dari masa kecil adalah saat itu kita sangat ingin menjadi dewasa, bisa nonton porno, pacaran, punya perkerjaan, punya uang hasil keringat sendiri, hak politik patrilineal, dan segalanya seakan lebih megah ketika kita menjadi dewasa. namun ketika telah masuk masa dewasa dan mengalami langsung berbagai hal yang kita cita­citakan sejak kecil, hmmmm... rasanya ingin kembali ke masa kecil lagi.

Saya ingat ketika masih bocah diantarkan ke empang (kolam ikan) untuk buang air besar oleh ibu. Ibu menggamblok saya di belakang punggungnya sambil berjalan menuju empang ia berkata, 'nanak, kapan bisa gantian gamblok emak, gantian ngerawat emak, hehehe". Kata­-kata sederhana namun menohok, terngiang hingga menembus masa 22 tahun setelahnya, mungkin karena belum tercapai. Beberapa kekecewaan terbesar dalam daftar keinginan anak berbakti adalah membahagiakan orang tua, namun setelah saya telisik lagi kebahagiaan orang tua bukan hanya mengenai harta benda saja, namun lebih kepada eksistensi sang anak di sisi orang tuanya yang membuat orang tua merasakan kehangatan keluarga, meskipun saya akui bahwa materi sangat penting sebagai penunjang.

Setelah sekian lama menjalani kehidupan kita, apakah kita hanya mahluk kenangan?, yang hanya terbentuk dari gejolak kenangan masa lalu yang terpendam di alam bawah sadar yang menjadi dasar perilaku kita di masa kini seperti teori Freud? Lantas bagaimana dengan harapan akan masa depan yang lebih baik yang juga dapat menjadi dasar perilaku seseorang? Juga dengan moral yang lebih tinggi seperti kebermanfaatan untuk keluarga, teman, dan lingkungan yang dapat membuat seserang mau berbuat lebih dari sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri? Saya rasa kekinian menjadi jawaban, saat di mana kita berguna untuk saat ini, menjadi sesuatu yang dibutuhkan untuk saat ini, beradaptasi dengan situasi, memproduksi hal­hal yang dibutuhkan untuk bertahan hidup hari demi hari. Tentunya itu semua menjadi bahasan untuk kekinian, tidak selalu mengenai masa lalu bukan? 

Kenangan­-kenangan memenuhi jalan hidup kita, penuh warna katanya. namun diantara sekian banyak kenangan yang tercipta, sekian banyak kejadian dilalui menembus dimensi waktu di mana kita terjebak dalam konsep masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. hingga nanti pada akhirnya dari tiada kembali ke tiada, dari saat sebelum sel sperma ayah bertemu dengan sel telur ibu, saat di mana "aku" sebagai individu belumlah terumuskan hingga semua membaur, terpecah, berganti fungsi menjadi penyubur tanah yang melapisi kulit terluar planet bumi dan hingga bumi hancur kemudian komponen yang sebelumnya membentuk kita kembali menjadi debu kosmik dan kembali melayang di luasnya jagat raya. Setidaknya, kita pernah...