Sampai
kapan sih anak terlepas waktu tuntutan orang tua? Pertayaaan dari seorang
teman yang baik yang sedang gundah gulana mengenai pengabdiannya terhadap orang
tua. Yang saya pahami mengenai pertanyaan tersebut adalah tentang ketidakpuasan
anak terhadap orang tua yang menuntut hal yang dianggap berlebihan oleh anak
sehingga nampaknya terjadi ketidaksinambungan antara keinginan orang tua dengan
keinginan anak. Dalam hal ini si anak tentunya memiliki pemikiran yang tidak
sejalan dengan orang tua, yang dalam hal ini orang tua memiliki otoritas yang
berlebih hingga si anak kesulitan menyampaikan pemikiran dan ide-idenya karena
ketakutan yang dalam akan ancaman dimarahi, cap anak durhaka, melawan orang
tua, dikucilkan, diasingkan dalam keluarga hingga pada tahap yang lebih parah
diusir dari rumah karena dianggap desertir. Hal ini memancing harapan untuk
segera berakhirnya masa tuntutan dari orang tua.
Sebelum
membahas lebih jauh mengenai konflik ini, selayaknya kita perlu mengetahui
bahwa yang menjadi dasar orang tua yang menetapkan peraturan yang dirasakan
keras oleh sang anak adalah rasa cinta. Meskipun demikian, cinta dan kasih
sayang yang dijadikan landasan untuk berperilaku keras tidak dapat serta merta
dibenarkan. Meskipun bertujuan mulia, namun proses dapat merusak tujuan yang
menyebabkan tujuan tersebut tidak dimaknai secara positif oleh sang anak,
karena bagaimanapun masih ada cara yang lebih lembut -meskipun sulit- untuk
mencapai sebuah tujuan yang mulia. Namun yang menjadi beban disini kita juga
harus memperhatikan pengalaman orang tua yang menyebabkan mereka menjadi
terlalu cemas akan masa depan anaknya, yang dapat dikategorikan menjadi salah satu
biang keladi atas perilaku keras orang tua terhadap anak.
Kerasnya pola asuh yang diterapkan oleh orang
tua, tak lepas dari pengalaman hidup orang tua yang bersangkutan, teman saya
mungkin hanya salah satu contoh, namun saya yakin di luar sana banyak yang
mengalami hal serupa. Pengalaman hidup para orang tua yang otoriter ini di masa
lalu mungkin penuh dengan keterdesakan, perlombaan, dan perjuangan keras untuk
mendapat pengakuan dari lingkungannya. Dalam lingkungan yang keras, bisa saja
orang tua otoriter ini tidak menginginkan sang anak mengalami penderitaan
seperti yang mereka alami, pengasingan dari lingkungan karena tidak menjadi
orang sukses sesuai tuntutan masyarakat, atau bahkan alasan yang paling negatif
adalah karena dendam terhadap pola asuh orang tuanya dulu maka kini mereka
melampiaskannya kepada sang buah hati. Berbagai motivasi tindakan otoriter
dalam keluarga tentunya dapat terjadi di sekitar kita, untuk mengetahui
penyebab pastinya tentunya diperlukan penelitian lebih jauh mengenai subjek.
Penerimaan anak terhadap pola asuh otoriter
mungkin berbeda-beda, karena disini kita membicarakan mengenai manusia saya
yakin bahwa kebanyakan anak akan merasa keberata dengan pola asuh yang
demikian. Seburuk apapun keadaan, bukankah cinta, kasih sayang dan kelembutan
adalah obat paling mujarab untuk meredakan hati yang meradang karena hantaman
lingkungan. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap individu memerlukan ruang untuk
diberikan kesempatan menjalankan hidupnya, sementara pada pola asuh otoriter
kita hanya menemukan boneka bernama anak yang dikendalikan oleh dalang bernama
orang tua. Bukankah sangat ironis jika ada sebuah kehidupan yang tak
menghidupi, ia ada tapi tak pernah bisa menunjukkan keadaannya. Tertekan oleh
aturan-aturan yang dibuat tanpa kesepakatan, perintah yang harus dipatuhi
sepenuhnya tanpa kita tahu mengapa, dan yang lebih menyedihkan adalah tekanan
tersebut dilakukan oleh orang yang paling kita cinta. Freud bahkan pernah
menyebutkan bahwa ketakutan terbesar seorang anak adalah takut untuk dibunuh
oleh kedua orang tuanya, sebuah analisa yang menghenyakkan kita betapa sebuah
kasih sayang bisa menjadi bumerang yang menghancurkan jika hanya diambil jalan
pintasnya saja. Tempa dan jadilah. Hei!, Kami bukan benda!.
Sikap
orangtua terhadap keinginan anak yang bebeda dengan pandangan mereka seharusnya
disikapi dengan santai saja, tentunya anak bukanlah boneka wayang yang bisa
setiap saat dikendalikan, dan orang tua bukanlah dalah yang setiap saat bisa
melakukan kontrol terhadap anak. Untuk
kasus ini saya rasa orang tua perlu menyadari bahwa mereka tidak akan hidup
selamanya di dunia, untuk itu rasanya diperlukan persiapan untuk membebaskan
anak sebagai tindakan berjaga-jaga saat nanti mereka tak bisa berada di sisi
anak setiap waktu. Orang tua juga harus memiliki empati lebih terhadap anak.
Sebuah keadaan dimana mereka merasakan dalam posisi sang anak yang masih dalam
proses pencarian jati diri, dimana proses ke akuan masih belum terbentuk,
tentunya dalam prosesnya mereka pasti melakukan perubahan-perubahan untuk
mencari cara hidup yang cocok untuk mereka jalani. Orang tua harus menyadari
bahwa luka dapat sembuh, jangan terlalu
cemas anak akan terjatuh karena mereka akan bangun kembali, jatuh lagi, bangun
lagi dan kemudian mereka akan mengambil bekal dari pengalaman jatuh bangun itu.
Kahlil gibran dalam sebuah karyanya bahkan pernah menyebutkan; “ anakmu bukan
anakmu” untuk menjelaskan betapa sebenarnya anak memiliki kehidupannya sendiri
secara terpisah dari orang tua. Maka , orang tua juga harus belajar untuk lebih
kenal dengan anak, jangan sampai anak lebih mengenal orang lain dibanding orang
tuanya, karena untuk dapat saling memahami diperlukan kehangatan bukan
pengadilan. Jadilah sahabat yang baik, mulailah pembicaraan lebih dulu dengan
sabar, nada rendah, nafas teratur, wajah simpatik, dan berilah ruang kepada
anak untuk mengendalikan hal-hal yang ingin diutarakan. Karena orang tua berada
pada pihak otoritas, maka ciptakanlah situasi dimana anak merasa nyaman
mengutarakan keperjakaannya yang telah hilang dengan gamblang tanpa merasa
harus dihakimi, kemudian berikan penjelasan yang baik dari sisi biologis,
kimiawi, humanisme dan sosial juga agama yang menenangkan. Jika orang tua tidak
tahu caranya maka belajarlah dari berbagai sumber, bukankan konsep belajar
adalah seumur hidup?
Untuk
lebih meyakinkan, perlu ditekankan bahwa jika pola asuh yang diktator tersebut
dipertahankan maka kita akan memperpanjang baris pewayangan, dimana individu
hanya hidup untuk dikendalikan dan mengendalikan orang lain tanpa pernah
merasakan pengendalian terhadap diri dan kehidupannya sendiri. Bukankah para
orang tua juga dulu pernah (paling tidak) merasakan penindasan yang sama,
lantas apakah layak meneruskan ketidakbaikan yang hanya akan menimbulkan sedikit
kebaikan dan banyak ketidakbaikan yang lain?
Yang tidak kalah penting adalah
kesadaran anak terhadap perlakuan orang tua, dalam hal ini tentu memerlukan
juga perngertian yang sama. Jangan pernah gunakan standar ganda dalam
menyelesaikan konflik yang melibatkan dua kubu, jika sebelumnya saya
menjelaskan bahwa orang tua harus berempati terhadap keadaan anak, maka
selanjutnya saya rasa hal yang sama juga perlu diberlakukan untuk anak. Siapkan
hati, hentikan rengekan. pada awalnya kita perlu membahas bahwa anak perlu tahu
di masa lalu, betapa orang tua telah berjibaku dengan kehidupan keras.
Keringat, air mata dan harga diri tak jarang menetes demi menghidupi keluarga,
betapa sebuah pengorbanan yang hebat telah dilalui para orang tua untuk melihat
senyum di wajah imut sang anak. Kita perlu menyadari bahwa untuk mengerti dan
lebih legowo terhadap sikap keras orang tua terhadap anak, kita perlu mengenal
lebih jauh kehidupan orang tua bahkan hingga saat dimana orang tua dilahirkan,
seperti apa keadaan saat itu, mulai dari ekonomi, politik, sosial, budaya,
biologis, dan juga berbagai keilmuan dan peristiwa yang bisa mempengaruhi
jasmani dan rohani orang tua, hingga saya rasa ini sangat berhubungan dengan
cara orang tua memperlakukan anak di masa kini. Pengetahuan terhadap pengalaman
hidup dan masa lalu orang tua sangat diperlukan, karena tak ada pengertian
tanpa pemahaman.
Langkah
berikutnya setelah anak mengetahui masa lalu orang tua adalah mulai
membicarakan perbedaan pemikiran untuk mencarikan solusi, untuk memulai
pembicaraan kita harus memupuk keberanian, kesabaran, dan kesadaran diri.
Keberanian diperlukan untuk memulai pembicaraan dengan baik, dengan hangat
layaknya ingin curhat dengan teman namun dengan bahasa yang lebih santun.
Mungkin kita sering meremehkan faktor keberanian ini, namun coba saja kita
bicara dengan pihak yang dianggap lebih tinggi, lebih benar, dan lebih
berkuasa. Kita analisa dan bandingkan dengan sikap dan cara bicara kita
terhadap pihak yang lebih lemah, kecil, dan tak berdaya. Maka akan kita temukan
perbedaan yang nampak pada bagaimana kita merespon lawan bicara , jadi
keberanian adalah faktor awal yang penting. Kedua adalah kesabaran, harus siap
bersabar untuk menerima resiko penolakan, bentakan, hardikan, makian, dan
peremehan yang dilakukan orang tua. Hal ini dapat terjadi karena hal yang akan
disampaikan bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut. Meskipun tidak
dapat dipungkiri bahwa akan terjadi juga respon baik, didengarkan,
diperhatikan, bahkan diakomodirnya kepentingan kita oleh orang tua. Namun
bersiap untuk respon yang memancing emosi negatif adalah lebih baik, karena
langkah mediasi yang sarat emosi akan sangat mengganggu hal baik yang ingin
disampaikan. Ketiga adalah kesadaran diri.
Untuk
membahas mengenai kesadaran diri, anak terlebih dahulu harus belajar untuk
mengukur diri sendiri. Selain tinggi badan, berat badan, warna kulit dan mimik
senyum paling manis yang bisa kita tunjukkan di depan kamera, kita juga perlu
mengukur bagaimana perasaan kita sendiri, bagaimana emosi kita, kecerdasan,
kemampuan khusus, kemandirian, dengan siapa kita tinggal, kebermanfaatan untuk
diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Jika ingin melakukan pengukuran sosial
semacam itu, maka anak juga perlu membandingkan dengan individu di sekitarnya
untuk mendapatkan nilai-nilai umum mengenai batas kabur antara anak baik dan
anak bandel mungkin. Setelah mengukur diri sendiri, lakukan penerimaan terhadap
diri sendiri dengan menggunakan pola pikir bahwa kurang lebihnya diri adalah
keadaan yang tidak dapat ditolak, dalam bahasa agama mungkin bisa disebut
takdir. Sampai pada titik ini anak harus sadar bahwa ketergantungan terhadap
orang tua adalah pemicu utama terjadinya pengendalian berlebih dari orang tua.
Tidak perlu sampai terlalu jauh untuk menghidupi orang tua, coba kita bayangkan
jika anak telah bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya sendiri, maka konflik
pasti berkurang drastis karena anak tidak perlu meminta apapun dari orang
tuanya untuk melakukan banyak hal karena anak telah memiliki kemapanan mental
dan fisik yang terwujud dalam kebijakan berpikir dan kestabilan finansial.
Jadi, ketika masih banyak konflik dengan orang tua, kesadaran utama yang harus diterima beserta
segala konsekuensinya adalah bahwa anak belum mandiri.
Solusi
alternatif tersedia untuk yang memang belum bisa mandiri, karena jujur, penulis
juga masih sangat tergantung dengan orang tua di usia yang dewasa ini. Sebagai
anak, yang bisa dilakukan adalah menyadari bahwa ini adalah tahap berkembangan
yang berlangsung dalam jangka waktu yang berbeda-beda pada tiap individu.
Sebagai contoh, artis cilik Baim telah stabil dan mandiri secara finansial di
usia balita, sementara Steve Jobs pendiri APPLE baru mendapatkan kestabilan
finansial di usia tiga puluhan (jika kita bicara finansial, karena kemandirian
biasa terkait masalah ini untuk lepas dari kendali orang tua) . Setelah itu
maka kita harus menunggu keadaan berubah seiring dengan waktu, semakin lama
kita menabung, berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka arah
kepada kemandirian akan semakin dekat. Maka untuk saat ini tunggu saja, karena
secara biologis sel-sel di tubuh kita juga memerlukan waktu untuk berkembang
dan matang. Jangan takut untuk gagal, karena pasti ada waktunya anak berhasil
dan sadarilah bahwa setiap hari sel-sel yang mati berganti kembali dengan sel
yang baru. Begitulah semangat hidup, tetap jaga harapan akan kemandirian dan
terbebas dari ikatan, karena suatu hari kita pasti bebas, paling dekat lihat
saja para orang tua, kebanyakan dari mereka telah bebas dari orang tuanya.
Cara
terakhir untuk menyelesikan konflik antara anak dan orang tua adalah cara yang
paling brutal dan menuntut nyali singa, menurut saya. Berontak saja dan secara
tegas namun lembut katakan segala yang kita mau. Jika tidak diberikan, paksa
dengan lebih tegas dan menuntuk hak sebagai anak dengan prinsip keadilan dan
kasih sayang. Jika tetap tidak diberikan kebebasan ada beberapa cara lagi,
pertama tetap dirumah namun menjadi pemberontak dengan tetap menjalankan cara yang
kita mau (tebal telinga). Kedua adalah berontak dan tinggal diluar rumah dengan
kemampuan seadanya yang pastinya akan menuntut kemampuan untuk menelan timah
panas kehidupan luar dengan lambung baja!. Kemudian biarkan hukum rimba
berbicara.
Sahabat
yang baik, tentunya kita tidak pernah menginginkan konflik keras terjadi hingga
menjadi bom waktu yang sangat menakutkan, bukankah keluarga diciptakan untuk
menjadi pelipur lara dari kerasnya rimba masyarakat. Bagi anak dan orang tua
ada baiknya perbanyak waktu berkualitas untuk mengobrolkan hal-hal sensitif
bagi kedua pihak dalam suasana yang mendukung. Bagaimanapun, jangan terlalu
sering mengorbankan diri sendiri untuk hal-hal yang sering membuat kita sedih.
Karena pada awalnya, dasar untuk mencintai dengan baik adalah kita harus
mencintai diri sendiri, berikutnya barulah kita bisa mencintai keluarga, teman,
dan lingkungan sekitar kita. Untuk mengalihkan penantian yang membosankan akan
kemandirian yang sepenuhnya, mungkin kita bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan
bersama orang-orang menyenangkan. Untuk
melakukan perubahan besar memang mahal harga yang harus dibayar, namun dalam
hidup seperti kata Sammy sang komedian “everything has a prize”.
Dari sahabatmu, yang sedang menyicil
kemandirian. Merdekaaa!!!