Legenda mengatakan bahwa dahulu kala manusia
mempunyai bahasa yang sama. Berbeda sekali dengan bermacam bahasa-bahasa yang
ada sekarang. Dahulu mulut manusia berbuih, meluapkan kata-kata yang
berasa-rasa maja kurang lebih bermuka samar. Bahkan mungkin sampai sekarang
rasa-rasa maja bermuka samar itu masih dihidangkan bersama luapan beragam emosi
dalam kata.
Manusia atau disebut juga dengan Homo
Sapiens berkomunikasi(komunikasi berasal dari kata Communis yang artinya membuat kebersamaan atau
membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih; yang
juga berasal dari akar kata dalam bahasa latin communico yang artinya membagi), berbicara satu sama lain dengan
bahasa yang sama sekali tak ada beda. Betapa kebersamaan dan rasa kesamaan yang
berharga terjalin erat. Betapa terasa nya bangun saling bahu-membahu dan juga
gotong-royong. Sampai pada suatu hari sifat alamiah manusia perlahan mulai
terus naik ke atas permukaan.
Manusia sangat suka berbicara. Saking suka nya
berbicara, mereka tiap hari hampir membicarakan semuanya. Mulai dari hal-hal
kecil seperti makanan yang terjatuh di lantai, minuman yang sengaja mereka
buang karena baunya sudah asing, bagaimana warna kotoran yang mereka keluarkan,
sampai juga pada tahap dimana mereka dengan melantangkan suara menyombongkan
diri mereka masing-masing. Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin sombong.
Semakin lama mereka semakin tak tahu
diri, membesarkan kebanggaan-kebanggaan yang mereka pajang di tengah masyarakat
terhadap figur otoritas diri mereka sendiri. Jika diukur dengan timbangan yang
digunakan untuk mengukur logam berat, mungkin sudah overload saking besarnya kepala manusia.
Mereka sudah mulai berani menantang
satu sama lain. Sudah berani memulai perpecahan . Secara tidak langsung juga mereka
menyatakan, siap berperang asalkan kepenuhan hidup mereka terpenuhi. Kebutuhan
dalam hal mengekspresikan perasaannya, melampiaskan emosi dan berbuat
agresivitas semaunya.
Jangankan begitu mereka juga sudah sangat
yakin dengan akal mereka bahwa yang menciptakan manusia adalah sesuatu yang
disebut Tuhan, tengah bersembunyi di balik awan. Menunggu hamba-hamba nya
membangun puncak peradaban untuk dapat menggapaiNya.
Tetapi karena kesombongan mereka,
mereka entah sengaja atau tidak sengaja menyalahartikan pemikiran tersebut.
Menyelewengkan atau bahkan menodai kesucian tentang pemikiran-pemikiran pemujaan
terhadap Tuhan . Mereka menganggap Tuhan gampang mereka gapai. Mereka mulai menyepelekan
kekuatan atas kebesaran Tuhan.
Akhirnya tiba pada suatu hari dimana
awan berarak sangat cepat , matahari bersinar begitu terik, suara burung-burung
riuh mengiringi hari itu. Seorang pria dengan kepala bulat berkata, “Ayo kita
buat perlombaan, barang siapa yang cepat menggapai Tuhan maka dia berhak atas
kekayaan tak terhingga. Kita buat saja bangunan megah dengan menara paling
tinggi yang menjulang tinggi ke awan!”. Orang-orang berteriak riuh, sekelompok
orang terlihat berubah raut mukanya dan berkeliling di dekat keramaian
tersebut. Mereka mulai mengepalkan kedua tangan mereka dan mengangkatnya ke
atas, dan menggerakkannya ke bawah terus-terusan. Berulang kali seperti itu.
Hari itu tampak sangat ramai tapi sejak
senja tenggelam mulai terasa kepekatan kegelapan yang tak terhingga. Entah kenapa
malam itu begitu berbeda dengan pagi hari nya, dimana semua orang bersorak
sorai akan diadakannya perlombaan besar-besaran. Malam itu hening. Seolah malam
kala itu sengaja menjemput sepi yang mencekam. Sungguh sangat terasa perubahan
atmosfir yang drastis. Entah apa mungkin yang terjadi besok.
Keesokan hari nya, orang-orang
berkumpul di suatu tempat yang besar seperti layaknya aula pertemuan di tengah
kota. Anehnya ada tiga orang lelaki paruh baya yang tiba-tiba muncul lalu mereka
bertiga berteriak,”Jangan! Jangan lakukan”. Lalu lelaki paruh baya dengan jubah
hitam berkata,”Kumohon jangan lakukan hal itu”. Sementara lelaki paruh baya
yang berada di tengah mulai menangis sambil terisak perlahan dan dengan tenang
berkata, ” Jangan”. Sementara lelaki paruh baya yang ketiga menggelengkan
kepala sambil sesekali menatap ke atas langit.
Hari ini semua material untuk pembuatan menara
telah disiapkan. Hari ini ada tiga kerajaan yang sungguh besar kekuasaan dan
tahta nya telah siap untuk berlomba, sementara bagi penduduk yang hanya berasal
dari kalangan menengah ke bawah mereka juga siap. Mereka siap membangun menara
megah yang tinggi dan indah untuk kerajaan yang masing-masing mereka banggakan.
Tentu hal tersebut sangat miris, karena pada akhirnya orang-orang yang mereka
anggap panutan dan sosok pemimpin menggiring mereka, rakyatnya sendiri untuk
melakukan kekufuran.
Perlombaan dimulai! Tampak ketiga
kerajaan bersaing sengit, semua kekuatan mereka kerahkan untuk dapat
memenangkan lomba yang sangat mustahil tersebut. Tapi dengan logika yang mereka
anut, hal tersebut adalah mungkin. Dan sah-sah saja mereka berpikir seperti itu
toh Tuhan baik dan penyayang. “Lagipula sebenarnya ini hanya untuk mengatasi
gengsi antar kerajaan. Bukan benar-benar niat kami untuk menyerang Tuhan. Bukan”.
Begitulah kurang lebih yang mereka pikirkan.
Setelah dua bulan perlombaan tersebut
berjalan. Mereka semua sudah mulai keletihan. Dari kejauhan salah satu dari
ketiga menara tersebut terlihat begitu tinggi menjulang ke awan. Sementara dua
bangunan menara yang lain terlihat begitu megah. Tersiratlah bahwa sifat
memalukan manusia yang suka bermegah-megahan terhadap sesuatu hal sangat
alamiah dan tak dapat ditentang kebenarannya.
Tapi tampak diantara ketiga menara
tersebut, tiba-tiba muncul jalan setapak yang entah darimana begitu saja. Tiba-tiba
ada. Terlihat ketiga pria paruh baya tersebut berjalan disamping masing-masing
menara. Mulai dengan yang memakai jubah hitam. Lalu pria yang matanya
membengkak karena menangis, ia mulai menangis dengan mengeluarkan darah.
Lalu pria paruh baya yang ketiga
mulai menggelengkan kepala sambil sesekali menatap ke atas langit. Ia mencari
pria berkepala bulat yang mencetuskan ide nya yang sangat bodoh ini. Dengan
tatapan mata nya yang tajam ia mencari-cari, lalu kedua bola matanya berputar
360odengan begitu cepat. Sampai pada akhirnya terlihat sosok pria
berkepala bulat itu lalu dengan mukanya yang seolah memaki. Pria paruh baya
ketiga, berkata sambil berteriak lantang. “Berhenti! Nanti Tuhan marah!”.
Tiga hari kemudian. Setelah hal
tersebut terjadi sang pria berkepala bulat yang ternyata merupakan kepala
mandor proyek yang ia cetuskan tersebut terlihat menggigil. Dan semenjak hari
itulah perlombaan untuk membangun menara agar bisa menggapai Tuhan berhenti.
Berhenti karena tiba-tiba tidak dapat terjalin komunikasi antar Homo Sapiens.
Berhenti karena semakin mereka berbicara semakin cekcok yang mereka dapat.
Berhenti karena terjadi banyak kata aneh yang asing yang mereka dengar yang
mereka bahkan tidak tahu apa artinya. Berhenti karena mungkin Tuhan benar-benar
marah.
kafir mana yang bertanggung jawab atas postingan biadab ini?
BalasHapus