Hijaunya Tak Kentara

Matilah kalian semua manusia! Kira-kira itulah kata kaum tumbuhan pada suatu malam, keesokan harinya, di taman sekitar menara Eiffel, Bambang dan teman-teman bengcengkrama sambil mengerjakan tugas kuliah. Namun di tengah obrolan santai, Baskoro terdiam tanpa respon. Matanya menatap nanar dan kosong ke depan, dan beberapa detik kemudian Baskoro menancapkan pulpen dalam-dalam ke matanya hingga menembus otak dan terkaparlah ia dengan darah mengalir dan tubuh mengejang. Bambang kaget setengah mati lompat sambil jumpalitan ke belakang bangku taman melihat temannya yang biasanya punya tindakan beralasan tiba-tiba melakukan tindakan yang di luar nalar. Sejurus kemudian Bambang meminta tolong kepada orang-orang di sekeliling taman, namun ternyata Ia mendapati semua orang bunuh diri dengan benda-benda yang ada di sekitar mereka, ada yang berlari menubruk tiang, lompat ke danau yang dalam, lari ke kendaraan yang sedang ngebut, dan berbagai cara mudah untuk mati lainnya. Bambang terbelalak, beberapa detik kemudian ia mulai gelap meilhat sekeliling, terakhir yang ia rasakan adalah tubuhnya yang bergerak sendiri tanpa perintah. Dan kamera drone zoom out menggambarkan situasi seluruh taman yang kacau balau penuh manusia yang bunuh diri dan bergerak seperti robot.
Kira-kira begitulah adegan sebuah film yang berjudul The Happening, tumbuhan menyerang balik karena perilaku kita yang tidak membiarkan mereka hidup dengan alami dan semestinya. Makna yang saya tangkap di film ini adalah tentang kegeraman tumbuhan terhadap kesewenang-wenangan manusia, salute! Namun bukan tindakan revolusioner tumbuhan yang kali ini saya ingin bahas, namun lebih kepada ego manusia yang sering kali mengklaim spesies atau mahluk yang berbeda sebagai pelayan manusia sebagai khalifah di bumi, sehingga untuk umat-umat yang berbeda seperti tumbuhan sering disemena-menakan oleh mahluk yang merasa lebih superior. Jangankan tumbukan, hewan saja masih diperbudak oleh manusia untuk keuntungan pribadinya dan ditutupi dengan dalil-dalil suci yang nimbrung dari ego yang bersumber penghambaan terhadap kebenaran hakiki.
Belakangan ini menonton Konser Raya Iwan Fals, mendengar lagu “isi rimba tak ada tempat berpijak lagi” memang serasa ingin menangis, dan terharu. Mendengar Bang Iwan (panggilan sok akrab) bilang ke kita bahwa manusia adalah penyebab utama kerusakan hutan, demi kantong pribadi tak ingat rejeki generasi nanti. Di kampung saya, dulu setiap rumah memiliki kebun dan empang. Kebun untuk menanam berbagai sayur dan buah, sementara empang untuk ikan dan kakus, sementara airnya digunakan untuk menyiram sayuran. Mereka makan apa yang ditanam, dan minum dari air yang dijaga oleh pohon yang mereka tanam. Ikan yang memakan feses dan sisa-sisa sayuran busuk bekas panen lebih ekonomis dan menjadi sumber protein yang sehat dibanding umpan pabrikan yang berlemak dan hanya dominan karbohidrat. Selain itu empang juga sangat berguna menampung air di musim hujan, dan menyimpannya untuk musim panas sehingga air tanah tetap terjaga. Jika sudah begini, tak peduli resesi dan krisis ekonomi. Kita punya rantai makanan sendiri di halaman rumah! Namun sekarang seperti bisa kita lihat. Dalam bangunan 5x7 saja hanya terdapat tumbuhan berupa lumut di dasar tembok, dan penampung air hujan hanya mainan anak yang berserakan di depan rumah dimana penghuni air tersebut adalah jentik nyamuk yang mengganggu sekali ketika kemarau tiba. Dari peristiwa kampung yang hijau beralih ke kampung yang sumpek hanya butuh waktu sekitar sepuluh tahun.
Belum lama ini saya melakukan perjalanan ke Baduy, di mana penduduk di sana sangat bersahabat dengan alam. Mereka menolak pendidikan luar dan teknologi karena bertentangan dengan ajaran adat mereka. Menakjubkan! Ternyata ada aturan bahwa alam tak boleh diubah. Alhasil mereka bertani tanpa dicangkul, bibit disebar di lahan kosong yang hanya dibersihkan rumputnya saja karena kontur tanah tak boleh dirubah. rumah panggung merekapun tak boleh merubah kontur tanah yang ada di bawahnya, alhasil tiang penyangga dari sebuah rumah tak ada yang memiliki panjang yang sama. Minum, mandi, dan masak semua menggunakan air sungai yang mengalir jernih karena sungai yang terjaga. Namun saya rasa agak berat juga jika hidup seperti mereka, untuk kita rasanya cukuplah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Membandingkan masyarakat Baduy Di Banten dengan cara hidup kita yang lebih mengagungkan uang ketimbang memiliki lingkungan yang asri rasanya jauh. Setumpuk uang lebih menggiurkan bagi kita ketimbang sebidang tanah yang perlu tenaga ekstra untuk mengolahnya menjadi makanan, di sini pragmatisme terlalu diagungkan, padahal nilai uang mengalami penyusutan, sementara tanah selalu meningkat. Alhasil penduduk asli di sebuah kota besar kini lebih banyak yang gigit jari tinggal di gang sempit karena lahan telah dibeli oleh mereka yang uangnya jauh lebih banyak dari saat tanah tersebut dijual dulu hanya untuk ditanami rumput bogel yang bahkan sayang untuk diinjak karena harganya mahal namun indah dilihat.
Sedang jengkel-jengkelnya karena tak punya lahan untuk bertani, saya menemukan sebuah tulisan di twitter ketika hendak twitwar, yang berbunyi, “kita pasti menanam pohon terus menerus jika saja ia bisa memberikan sinyal wifi yang kuat untuk internetan, namun sayang sekali, ia hanya menghasilkan udara untuk kita bernapas”. Plakk!!! Manusia ditampar. Begitu tak berharganya tumbuhan hingga harus ada fungsi wifi dahulu kah baru kita mau menananam dan memberikan ruang untuk mereka?. Ini mungkin menjadi salah puluhan tahun dari generasi ke generasi yang terlalu pragmatis memandang bagaimana kita mengisi perut, namun rasanya ini adalah tugas kita memutus rantai ini, jangan biarkan udara segar dan rindangnya pohon hanya menjadi milik orang-orang yang banyak uang itu. Kita juga berhak atas pemandangan lele yang berebut feses, atau kangkung yang gurih hasil tanaman sendiri.
Membahas tradisi hijau jadi teringat akan peringatan keras di jaman dahulu agar tidak menebang pohon yang dihuni setan. Sebenarnya untuk hal yang satu ini setan telah benar-benar membantu kita melestarikan lingkungan. Terima kasih, setan! Dan belakangan ini saya sering berpikir bahwa manusia selalu membutuhkan bencana untuk berpikir dan menanggulangi dengan pencegahan agar tidak terjadi kembali. Apakah kita butuh pohon-pohon untuk menyerang balik dan memberikan suatu penyakit agar kita sadar betapa bermaknanya mereka untuk kita? Satu hal, seluruh kehidupan yang kita kenal saat ini dapat berjalan tanpa kita manusia yang merasa manusiawi, bisa lebih baik malah. Namun tanpa tumbuhan, semua pasti berbeda dan lebih tidak manusiawi.
Kita sering memandang tumbuhan hanya sebagai properti, hak milik kita tanpa kita perkirakan bahwa mereka juga punya perasaan dan memiliki haknya untuk hidup dan berkembang alami. Kita perlu hutan yang lebih rindang, rumput yang lebih lebat, semak-semak yang lebih rimbun hingga hewan-hewan dapat bersembunyi dan berkembang biak secara liar dan alami. Jadi sebelum menebang pepohonan rasanya kita harus banyak hitung-hitungan juga soal kebermanfaatannya mengingat oksigen yang kita hirup dihasilkan oleh mereka secara sistemik. Bukan hanya karena uang melulu. Hah! Bosan dengarnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar