Merealistiskan
Sebuah Film.
Ketika
ada kabar film Ada Apa dengan
Cinta? akan dibuat sekuelnya, saya teringat mendiang Denny Sakrie, seorang
kritikus musik dan film yang mengatakan, para pecinta seni yang sering membuat
karya napak tilas atau kunjung ulang,
berarti menunjukkan terbatasnya kreativitas dan ekspresi untuk
memunculkan sesuatu yang baru. Saya pribadi cenderung sepakat pada pernyataan
tersebut. Namun pada galibnya,
yang paling mengkhawatirkan dari sebuah nostalgia ialah penurunan kualitas akan
kenangan yang sudah terbentuk secara alamiah.
Jelas,
sebuah kisah yang menggantung dan terlanjur membekas, menjadi bulan-bulanan
bagi manusia yang haus akan hasil akhir. Sifat haus itu yang kemudian
dipropaganda oleh Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai orang yang paling berkuasa
atas film AADC?. Cerita 14 tahun silam,
ketika laki-laki bernama Rangga meninggalkan sebuah puisi dengan kalimat akhir
yang lugas dan tandas “ Aku akan kembali dalam suatu purnama. Untuk
mempertanyakan kembali cintanya. Bukan untuknya, bukan untuk siapa. Tapi
untukku. Karena aku ingin kamu, itu saja. “
Yang
terjadi di awal sekuelnya (AADC2), Cinta, perempuan yang menerima puisi itu
bertunangan dengan Trian. Awal cerita yang realis, apalagi bagi seorang
perempuan. Menunggu bertahun-tahun tanpa kejelasan, ialah kedunguan tanpa
alasan apapun. Mira lesmana dan Prima Rusdi selaku penulis skenario saya yakin
bukan orang yang dungu. Selain
kealfaan tokoh Alya, saya sangat kehilangan sentuhan Jujur Prananto dalam kasus skenario.
Buku
bacaan Cinta, kumpulan puisi berjudul Melihat Api Bekerja karya Aan Mansyur,
menegaskan kepada penonton bahwa Cinta telah keluar dari bayang-bayang sastra
masa lalu yang bergelut dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Cinta
yang modern dan populer.
Padahal banyak pecinta sastra yang memprediksi buku bacaan Cinta semisal
Orang-orang Bloomingtoon karya Budi Darma atau Negeri Senja karya Seno Gumira
Ajidarma.
Cinta
yang kekinian, Cinta yang suka dunia gemerlap, mendadak berubah menjadi klasik
dan suka romantisme dengan berbau spirit sejak alur cerita dipaksa ada
pertemuan antara Rangga dan Cinta. Apa yang terjadi? Ya, Cinta yang bersikeras
menjunjung realitas kemudian menjadi getas. Ditambah lagi lirihan maaf yang
terurai beberapa kali dari Rangga, sehingga membuat sebagian laki-laki tersadar
bahwa mengucapkan maaf itu amat penting. Bagi saya, permintaan maaf yang terlalu
sering menurunkan wibawa. Harusnya Rangga sadar bahwa pertemuan mengandung maaf
yang lebih besar dari kata maaf itu sendiri. Sepatutnya Rangga mengutip syair :
Aku perlu dijenguk dalam berbagai musim.
Jangan pakai doa. Pertemuan jasad dan badan adalah kitab yang kan khatam dengan
sendirinya. Sayangnya kehausan penonton akan syair yang melankolis lebih
diutamakan sehingga Rangga menulis puisi tentang Batas.
Rangga
paham betul kegetasan Cinta. Betapa liciknya Rangga yang selalu meminta Cinta
untuk diadakan pertemuan, untuk menjelaskan sesuatu, padahal ketidakjelasan
bertahun-tahun dan pertunangan Cinta dengan Trian adalah jawaban yang
semestinya tidak bisa diganggu gugat. Rangga yang legendaris itu benar-benar
memanfaatkan pertemuan dengan percikan-percikan kesan sampai-sampai penonton
melakukan kejahatan massal dengan mendukung Rangga menculik Cinta hingga pagi
tanpa memikirkan perasaan Trian, perasaan Cinta dan perasaan orang-orang yang
di kehidupan nyata tunduk pada etika, arus, kapitalis dan berpikir linier.
Betapa
kita gembira dan orgasme melihat Rangga dan Cinta berciuman, tanpa ada
pemikiran bahwa mencium kening perempuan justru lebih terasa mewah. Hasil akhirnya, ya seperti yang dijelaskan
mengenai rasa haus kita. Kita yang gagap dan seringkali tak habis pikir ketika
bergelut dengan perasaan dan jawaban, film yang sudah pasti tidak ada
lanjutannya ini seperti air bening pemuas dahaga.
Satu
hal, apa yang kalian (Mira Lesmana,
Prima Rusdi dan Riri Riza) lakukan kepada
saya itu jahat. Tidak hanya mengurangi nuansa kenangan, film yang kalian buat
ini melempar saya ke masa silam saat adegan Cinta melirihkan naskah puisi Rako
Prijanto : Ada malaikat menyulam jaring
laba-laba belang di tembok keraton putih. Kenapa tak kau goyangkan saja
loncengnya? Biar terdera. Lalu Diklimakskan oleh Rangga dengan kalimat
super picisan namun berkelas : Baru kali
ini kulihat karya surga dari mata seorang hawa. Ada apa dengan Cinta?, saat
itu saya ingin menjadi penulis puisi yang baik dan benar. Saya kecewa.
Maaf,
setelah merenung di jalan, saya tersadar ini bukan salah kalian, apalagi
teman-teman kalian. Ini salah saya yang menganggap Rangga dan Cinta suatu
sayembara dan tragedi yang harus saya selesaikan dalam kehidupan saya sendiri.
Film
adalah film. Jika film membuat orang, warga atau masyarakat luas tergugah
secara kolosal itu hanya kebohongan orang pembuat film. Sisi lain saya
menyadari itu. Maka muncul di pikiran saya film Pendekar Tongkat Emas, Atambua
39 dan Sokola Rimba, yaitu film garapan Miles yang tak berhasil secara
komersil.
AADC
2 memiliki kans mengalahkan Laskar Pelangi untuk menduduki film terlaris
Indonesia sepanjang masa. Tentu mengeruk uang banyak. Semoga proyek film Bumi
Manusia dari novel legendaris yang terkendala biaya segera terlaksana. Sungguh
itu pelipur lara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar