Cihuyyy.... Lebaran! Hari-hari persembunyian selesai untuk sementara, persembunyian dari siapa
diri kita sebenarnya. Maka ini saatnya keluar untuk merayakan kebebasan,
kebebasan untuk sedikit lebih leluasa menunjukkan diri kita dengan hanya
sedikit rasa malu di mana kenyataannya bahwa bulan sebelumnya menurut
penanggalan hijriah ada mahluk yang dibelenggu dan kita senang bukan main hanya
karena ada beberapa orang yang bilang bahwa si terbelenggu tersebut memang
layak dibelenggu. Sebuah kekeroposan moral muncul dalam pesan-pesan yang dibawa
dalam sebuah momen yang disucikan bahkan mungkin lebih suci dari si pemilik
momen dan tidak momen yang biasa disebut Tuhan. Kita terbiasa merasa mewakili
apa yang benar menurut Tuhan, dan hal itu dapat terlihat jelas sebulan penuh
kemarin. Berisik, riuh, boros, macet dan pamer yang lebih dikedepankan daripada
esensi membantu sesama yang kesusahan. Maka karena kita terlalu biasa untuk
menurut jika diancam, maka pakaian baru pun laku karena kita merasa itu adalah
representasi sesungguhnya dari jiwa yang baru dan suci bersih, segala jenis
makanan dihidangkan untuk menghargai tetamu dan keserakahan dalam makan
daripada melihat ke rumah tetangga yang reyot atau janda tua yang harus banting
tulang menafkahi keluarga besarnya sendirian sementara anak-anak dan cucunya
masih makan dari dapurnya. Kita kehilangan momentum, kita terlalu terbiasa.
Saat
berjalan menyusuri pinggiran sungai dan danau ke tempat kerja selepas
silaturahmi di hari pertama lebaran, ada pemandangan unik di mana ada beberapa
orang memilih memancing sendiri ketimbang di rumah bercengkrama dengan
tetangga. Yang satu berumur kira-kira 20 tahun dan yang satu lagi kira-kira 50 tahun.
Berkulit sawo busuk dan bertampang lokal yang sepertinya adalah muslim
mengingat sedikit sekali kemungkinan orang murni pribumi yang non muslim di
tempat yang bersahaja itu. Di hati bertanya, mengapa mereka melakukan hal yang
sama seperti yang saya lakukan, mereka menghindari lebaran! (baca: bahasa indonesia
untuk Idul Fitri). Jika dibuatkan daftar, bisa jadi akan muncul beberapa
kemungkinan penyebabnya mulai dari bokek hingga malu atau bahkan malas
bermunafik-munafik dengan senyum palsu dan maaf-maafan dengan orang asing dan
paket kepalsuannya itu. Sebagai karyawan yang masuk kerja di kala lebaran, saya
justru bersukur atas karunia ini. Saya bisa dengan tampak tidak sengaja
menghindari lebaran yang kini lebih sekedar perayaan atau ruang pameran,
pameran segala keunggulan dan kemenangan tanpa menyisakan podium untuk yang
kalah.
Untuk
beberapa saat saya terpikir mengenai kesucian dari waktu-waktu tertentu yang
dibuat oleh manusia, menurut klaim beberapa pemukanya sih katanya memang telah
dikhususkan oleh Sang Pencipta. Namun berikutnya seperti biasa kenyinyiran
durhaka saya pun muncul untuk sok mengkritisi hal ini, jika memang ada momen
yang diciptakan untuk spesial, maka ada momen yang tidak spesial. Untuk
pemilihan momen ini berarti Tuhan memiliki selera, dan jika Tuhan memiliki
selera berarti ada yang disuka dan dibenci, dan jika begitu maka Tuhan tak
berbeda dengan manusia, memiliki rasa tidak nyaman, berarti Tuhan dapat
diganggu, dapat diusik, dapat dikacaukan, dapat diacak-acak, dapat dibunuh. Tidak
heran jika Nietzsche mempopulerkan istilah “Tuhan telah mati”. Berapa dari kita
yang menyadari bahwa kita telah membunuh Tuhan dengan menempatkannya dalam
spektrum-spektrum penilaian manusia yang tidak pernah relevan untuk sebuah
kemahaan? Atau sebenarnya kita memaksakannya hanya untuk menutupi rasa takut
kita akan sebuah kebenaran yang sebenarnya kosong, karena konsekuensi dari
berbondong-bondong adalah kenyamanan, rasa kesatuan yang mempersetankan
kebenaran ketuhanan itu sendiri. Seperti kata kapten Steve Rodgers “kita
lakukan bersama meskipun harus hancur”, sebuah petikan kata dari seorang
katolik taat fiktif yang pada prinsipnya sepertinya dipakai oleh umat beragama
di seluruh dunia. Maka persetan dengan moral dan kebenaran yang relatif, jika
kebenaran tidak sesuai dengan kebutuhan maka ubahlah kebenaran itu, bersama!
Kehilangan
makna kesucian dari jalan ketuhanan yang saya rasakan tiba di puncaknya ketika
ternyata nilai kesucian dari sebuah perayaan keagamaan distorsinya lebih
kentara dibanding keindahan komposisi nada yang sebenarnya. Teringat perkataan
seorang teman mengenai sebuah hadis, katanya “manusia yang paling baik adalah
yang bermanfaat untuk orang lain”. Rasul sebagai pemimpin islam, pasca
kemenangannya justru memakmurkan jazirah arab dan menaungi kaum dari berbagai
agama dan suku untuk kesejahteraan bersama tanpa diskriminasi. Namun saat
lebaran tampaknya kaum beragama berubah menjadi lebih egois, makna kemenangan
dalam perjuangan agama kini terasa lebih ditekankan kepada keuntungan pribadi
seperti surga, pahala, rejeki, umur panjang, sehat, dan sederet keuntungan yang
dipromosikan tak lebih untuk keuntungan diri sendiri. Memang tidak ada yang
salah dari itu jika kita berbicara manusia sebagai makhluk, namun ketika makhluk
yang satu ini mulai memposisikan diri dalam kesatuan agama yang ditenggarai
sebagai jalan ketuhanan maka terlalu egois rasanya. Saya jadi teringat seorang ustad yang banyak menganjurkan
kita beramal kepada orang yang membutuhkan sebagai selling pointnya,
ajaran yang baik dan perlu dilestarikan, terlepas dari kehidupan pribadi sang
ustad dan ajarannya yang kurang utuh.
Oia
hampir lupa, apa di sini ada yang curiga bahwa lebaran adalah hari perayaan
dibebaskannya kembali setan-setan dari belenggu? Maaf, tampaknya saya mulai
sok tahu tentang Tuhan. Sampai sini dulu, mari membaur.
SB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar