Pertama kali seorang bayi lahir, ia mencari puting
ibunya untuk mendapat nutrisi. Entah darimana bayi itu mengetahui bahwa puting
ibu bisa menghasilkan nutrisi bagi dirinya. Unik. Tapi ada yang jauh lebih
unik, yaitu pendapat salah satu teman saya berkelamin laki-laki: kejadian bayi
yang mencari puting ibunya ketika baru lahir menunjukkan manusia terlahir
sebagai heteroseksual. Emejing, dari
satu premis saja teman saya bisa mengambil kesimpulan yang terkesan absolut.
Dunia memang cenderung dipersepsikan memakai kaca mata laki-laki, tapi ya tidak
dari persepsi laki-laki yang otaknya berkarat dan tak lebih mahal dari
otak-otak rasa ikan tenggiri.
Soal hetero-homoseks kini menjadi heboh dan gedumbrengan di kalangan masyarakat
perkotaan. Muasalnya dari dilegalkannya pernikahan sesama jenis di negara yang
paling bermanfaat bagi seluruh dunia yaitu Amerika Serikat. Saya pribadi ikut
tersulut untuk mengetahui perkembangan perihal disahkannya pernikahan sesama
jenis yang berangkat dari temuan bahwa homoseks hanya faktor genetik belaka.
Jurnal Achieves of Sexual Behavior memaparkan
bagaimana hormon saat dalam rahim (eugenetik) menjadi penentu perilaku
homoseksual. Dr. Niklas Langstrom, seorang peneliti besar di bidang orientasi
seksual melalui penelitianya dengan objek kembar fratemal menunjukkan kalau
hanya ”bakat” yang mempengaruhi seseorang memiliki sifat homoseks.
Dr. Ryu Hasan seorang ahli Neurosurgeon, sangat
meyakini bahwa homoseks absolut karena faktor gen. Gen itu yang membentuk otak
manusia entah itu konstelasi atau sirkuit-sirkuit di otaknya, dan itu yang
mempengaruhi selera seksualnya. Menarik. Apalagi penjelasannya mengenai spesies
bernama manusia yang tergila-gila akan pola, atau mungkin maksud lainnya
manusia menjunjung tinggi kepastian. Bagi sang dokter, manusia teramat angkuh
untuk bisa menyimpulkan manusia dengan mengelompokkanya secara dikotomis,
hitam-putih. Manusia teramat jelimet dalam rangkaian spektrumnya. Manusia
berada dalam tali interval yang amat panjang sehingga amat konyol apabila
diambli jalan pintasnya saja dengan meletakkan manusia pada titik ekstrem kanan
dan kiri, dan nanti dalam praktik dimasyarakatnya menjadi nilai benar-salah.
Pernyataanya mengingatkan saya akan ucapan Pram,
si nominator nobel, setajam apapun inderamu, kau takkan sampai memahami
manusia. Kok tiba-tiba terlintas di otak saya Dzat yang Maha itu. Karena
spektrum alam dimana manusia menjadi bagiannya sungguh terlalu liar untuk
dipahami oleh spesies yang amat suka denga pola-pola dan sebab akibat.
Dia memang terlalu besar. Pencipta dipahami oleh
ciptaanya. Agak mustahil.
Maaf, nilai memang suka ikut-ikut manja.
Kembali ke soal homoseks.
Saya bukan orang yang percaya begitu saja.
Terlebih ilmu pengetahuan melakukan regenerasi kebenaran atas dirinya sendiri
begitu cepat. Itu yang membuat ilmu pengetahuan dengan satu abad mengalahkan
dogma agama, mungkin. Saya cari antitesa dari pernyataan bahwa homoseks tak
lebih faktor genetik.
Dean Hamer seorang peneliti yang juga penyandang
Gay, awalnya meyakini faktor gen pengaruh terbesar dari perilaku homoesksual.
Bukan karena ia penyandang gay tapi karena melalui riset yang melibatkan 40
pasang kakak beradik yang homoseksual.
Hebatnya 6 tahun kemudian Dean Hamer merevisi
hasil penelitianya. Ternyata gen bukan faktor utama laki-laki mau berbugil
bareng dengan laki-laki. Dean Hamer berjiwa besar meminta maaf. Kalo memang
teori konspirasi dan banyak muatan politis atas pemberlakuan halal haramnya
homoseks kok saya tidak mendapati opini yang mengatakan kalau Dean Hamer telah
murtad dari kehomoseksan-nya. Maksudnya, kenapa kehomoseksan-nya tidak menjadi
pertimbangan ketika ia mengutarakan homoseks bukan faktor genetik padahal saat
sebaliknya selera subjektifnya membuat hasil penelitianya dianggap tidak
objektif. Kurang fair memang.
Seorang ulama besar asal India, Dr. Zakir Naik,
yang juga ahli neuroscience pernah ditanya juga soal perilaku homoseks. Saya
antusias mengingat dia ahli neuroscience. Tapi yang saya dapat Surat Al Anbiya
ayat 74-74, Surat Hud ayat 82-83, Al Qamar 33-38 dan As Syuraa ayat 165-166. Intinya
azab bagi kaum Nabi Luth as yang melampaui batas.
Saya menjadi yakin dunia menawarkan keteracakan.
Manusia yang akhirnya membuat kategori-kategori berdasarkan apa yang manusia
yakini.
Saya tak lepas dari manusia yang dimaksud itu.
Karena saya yakin ini soal sudut pandang. Saya punya beberapa kenalan yang
tidak percaya akan Tuhan Yang Maha Esa, dan agak saya maklumi. Tapi saya
sungguh tidak rela dan maklum akan beberapa orang yang saya kenal mengidap
selera seksual yang berbeda dari biasanya. Terkadang saya jijik. Tapi ending dari film Youre the apple of my
eye, membelokkan sudut pandang saya seperti pensil di dalam air. Adegan ciuman
antar laki-laki yang sebenarnya subtitusi dari bayangan laki-laki kepada
perempuan yang dicintainya sebagai penyebab. Persepsi penonton diseret kepada
ruang selera seksual. Ternyata ada drive
manusia dalam menuntaskan hasratnya dan drive
itu tak selamanya nampak, rangkaian spektrum seperti yang dijelaskan
sebelumnya.
Saya menjadi tidak jijik. Malah terselip kagum.
Dan kekaguman saya makin terakselerasi atas
nyanyian Farroukh Bulsara, atau yang lebih dikenal dengan nama Freddie Mercury
vokalis Queen. Lagu You take my breath away yang ia nyanyikan sebagai penganut
biseksual, seperti ia menasbihkan cintanya dengan amat sangat menggebu dan
menggali sukmabumi. Caranya menguntaikan lirik dalam interval nada, penekanan
suara dan berbalut lirih pada bagian lirik tertentu bak ia menggelar perasaan
dari jiwanya secara raksasa.
Maka setahun
kemudian setelah liris lagu You take my breath away di album A Day at The
Races, Freddie Mercury merayakan kemenangan cintanya melalui tembang fenomenal We
are the champions. I’ve paid my dues~
Bisa jadi saya
kudung mengidolai Freddie Mercury karena karya-karyanya yang jenius sehingga begitu
toleran saya terhadapnya. Freddie Mercury pernah berteriak ke fans laki-laki di
di bawah apartemenya : yang memiliki buah zakar paling besar silahkan naik ke
kamar saya. Saya tersentak mendapati kabar itu. Tapi kok saya melihat
keberanian dan bukannya orang besar macam Freddie si penyembah api selalu punya
keberanian yang tak dipunya oleh orang-orang yang tak tertulis tinta sejarah.
Alhasil, ketika dunia menawarkan soal
hetero-homoseks, tentu saya punya hak untuk meyakini dan meletakanya dalam
kategori apa.
Dalam imajinasi saya entah kenapa Dinosaurus punah
bukan karena tak kuasanya lapisan luar bumi menghalau meteor. Dinosaurus punah
karena mereka melakukan evolusi selera seksual menjadi homoseks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar