Aku bukan tipe orang yang mudah
putus asa. Tetapi ini semua membuat aku frustasi.Ya, namaku Jamie bila kau
ingin memanggilku panggil saja aku dengan sebutan itu. Nama yang telah
diberikan oleh ayah baptis ku.
Orang-orang di dunia ini hampir semuanya munafik, aku bisa melihatnya
dari cara mereka memandangku, memandang diri mereka sendiri dan cara mereka
memandang dunia. Menurutku hanya 5% dari jumlah populasi manusia di bumi ini yang
tidak munafik, yang straight, benar-benar light dan benar ketulusannya.
Rasanya aku ingin berlari dan terus
berlari hingga menemukan sesuatu yang kucari. Entah apa dan bagaimana aku bisa
menemukannya aku juga tidak tahu. Yang jelas pada suatu saat yang entah kapan,
aku ingin bertemu salah satu diantara mereka yang hanya 5 % itu.
Hingga suatu saat aku bertemu dengan
gadis itu, nama nya Shoffi. Aku terkejut ketika pertama kali melihatnya sebuah
tatapan yang sejuk dan sepintas senyuman yang nampak bagai bidadari yang ada di
langit. “Mungkinkah ia bosan dengan kemewahan langit dan turun ke bumi?”, gumamku
setengah melamun.
Tampak nya aku tengah berada dalam
preconscious membuatku terhuyung dan sejenak merasakan injeksi dari hormon dopamine
. Sebuah idealisme ku yang terwujudkan, ia tak hanya cantik di luar tapi juga
secara kepribadian ia merupakan orang yang mudah untuk dikagumi. Mempunyai
karier yang cemerlang, gagasan-gagasan nya yang briliant tentang perancangan
masa depan, serta tutur kata nya yang selalu lemah lembut. Tapi tidak hanya
itu, ia juga merupakan sesosok perempuan yang tegas dan tegar. Kami sering
mengobrol tentang banyak hal, baik itu hal-hal yang menjadi isu hangat ataupun
hal-hal yang bersifat pribadi. Seperti pada saat ia menceritakan
lembaran-lembaran masa lalu nya. Ayahnya merupakan seseorang yang pemabuk yang
sering memukuli ibunya sewaktu ia masih kecil.
Dia begitu tegar melalui semua masa
lalu nya, dia juga menceritakan kisah-kisah nya dengan tegar. Tapi masih tetap
tampak guratan-guratan kesedihan yang tampak dari wajah sayu nya.
Aku sadar bahwa aku tak setegar dia
dalam menghadapi hidup. Dia merupakan motivator teranyar dalam diriku, dia
merupakan mood stabilizer, dia merupakan penyangga yang sanggup menopang
rongga-rongga di hidupku yang rapuh. Hingga pada suatu hari, setelah berbincang
di kedai kopi itu aku memungut sebuah diary yang berukuran kantong yang
terjatuh.
Aku penasaran, lalu kubuka dan
mulai kubaca. Aku menangis, entah kenapa air mata ku tak kunjung reda. Kuhirup napas
panjang tapi malah membuat tangisku lebih-lebih. Tangis haru biru ini kutahan
sampai malam datang dan aku tetap tak bisa tidur. Kugerogoti jari telunjuk ku yang
ternyata mulai mengalirkan darah. Dua hari berlalu, emosi ku sudah dapat
kuatur, tapi kebiasaan baruku menggigit jari telunjuk tak kunjung hilang. Membuat
luka kecil itu seolah melebar dan tak dapat sembuh. Aku pikir aku akan bertemu
dengannya hari ini. Kalau tidak, rasanya aku pasti akan menderita seumur
hidupku. Aku menengok ponselku yang tiba-tiba berdering.
“Halo, Shoffi?”
“Jamie, kita harus bicara”.
“Ya, kau benar Shoffi. Kita harus bertemu. Ada hal penting
yang harus kukatakan padamu”.
“Iya, Jamie. Baiklah di kedai kopi biasa”.
Dia datang dan kami pun saling berpandangan selama sekian
menit.
“Jamie, biarkan aku yang terlebih dahulu”.
“Ok. Baiklah”.
“Aku sangat menyukaimu Jamie. Dan entah sejak kapan aku
mulai menyayangimu lebih dalam”.
“Aku juga Shoffi. Dari sangat awal bahkan aku sangat
tertarik padamu dan sekarang aku bingung harus menamakan perasaan ini apa”.
“Jamie, aku ingin suatu saat nanti kita bisa..”.
“Maaf, Shoffi aku tidak bisa. Kita tidak akan pernah bisa
menikah”.
“Kenapa Jamie? Apa yang salah?”
“Tidak ada yang salah, hanya saja aku telah tak sengaja membaca
buku diary mu kemarin”.
“Lalu?”
“Maaf Shoffi. Aku rasa kita memang tidak ditakdirkan bersama”.
3 minggu setelah itu, Jamie tak
pernah menampakkan diri di depan Shoffi. Hanya saja ada sepucuk surat yang
tiba-tiba datang. Setelah membaca surat tersebut, Shoffi sadar bahwa ini semua
salahnya. Seandainya saja hari itu ia tidak menjatuhkan buku diary nya.
Seandainya saja waktu itu ia tidak memaksakan kehendak untuk mengikatkan janji
suci bersama Jamie. Tangisan yang menderu jatuh membanjiri tepat di bawah
pelupuk mata Shoffi. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain terus-terusan
menghujamkan diri dengan rasa sesal, rasa marah, rasa putus asa. Hari itu ia
hanya mengulang-ulang membaca surat yang dituliskan Jamie untuknya.
“Halo Shoffi, maaf bila
kata-kataku terlalu manis untukmu, maaf bila aku bisa membungkusnya semua hal
ini dengan terlalu rapih, maafkan segala kebohonganku selama ini
Aku takut aku tak bisa
mengutarakannya secara langsung dan hanya bisa membuat banjir air matamu,
Sejak awal aku tahu,
bahwa sesungguhnya perasaan ku ini adalah perasaan suka dan bahagia yang luar
biasa,
Karena aku bisa
diizinkan Tuhan untuk bertemu dengan makhluk indah ciptaan-Nya
Bahagia sekali aku
bisa melihat suatu bentuk dari idealisme yang ku impikan terwujud dalam dirimu
Tapi aku harus jujur,
aku bukanlah laki-laki yang kamu mau, yang ada dalam diary mu,
Aku adalah perempuan
yang terbiasa sejak kecil bertingkah laku seperti laki-laki,
Dan aku juga sadar bahwa
virus ini menggerogoti ku perlahan.
Aku tidak akan pernah
sanggup untuk membangun ikatan suci denganmu melalui kepalsuan yang menjijikan,
Aku sadar aku bukanlah
makhluk yang pantas dibanggakan, aku sadar aku jauh dari kata sempurna,
Tapi aku juga manusia
yang masih memiliki perasaan, bila saja aku memang laki-laki yang diciptakan
untuk mendampingimu, bila saja kita memang ditakdirkan untuk selalu bersama.
Maafkan aku Shoffi”.
-Dari Jamie, yang selalu mencintaimu
baiknya shoffi berkunjung ke kabut nomor 2 ketika senja, dipinggir kolam kura2 biasanya ada pria. selebihnya jika cocok mungkin saja...
BalasHapus