Erupsi



Hujan itu seringkali menghambat peradaban. Hujan menjebak kita untuk menemui sebuah nilai yang tak terduga. Di warung bakmi ayam, saya menjemput nilai itu. Pemiliknya lulusan sarjana ekonomi yang percaya bahwa wirausaha ialah buah dari segala proses njelimet teori untung rugi, aktiva pasiva, yang ia pelajari di universitas. Salah satu pembelinya mahasiswa psikologi semester 7, ia mengejar kuliah hanya 3 setengah tahun. Bakmi ayam ia beli untuk menemaninya mengerjakan skripsi.
Satu orang lagi yang akan menjadi awal dari sebuah nilai yang saya maksud di atas. Namanya Emha.
” Kediri dan Medan itu orangnya keras-keras. Sikap keras, ambisius-asal tujuannya tercapai tanpa merhatiin orang sekitar, jadinya kebuanyakan dosa.. ” kebiasannya yang ceplas-ceplos menimbulkan efek sengatan bagi orang yang mendengar.
Semua yang mendengar sepakat, bahan yang dibicarakan mengenai meletusnya gunung kelud di kediri dan gunung sinabung di sumatera utara.
” banyak banget tuh kerugiannya.. ” sarjana ekonomi khas sekali kalau melihat suatu masalah.
” banyak-banyak taubat.. Minta ampun dan pertolongan kepada yang maha berkehendak..” Emha bernasehat.
Tensi perbincangan sedikit naik. Penjual bakmi duduk mendekat ke arah Emha. ” untung kau tidak ada di sinabung sana, kalau kau katakan kepada mereka soal taubat-taubatan.. habis kau digebuki.. ” ia menekan dalam konteks seloroh.
” mereka tak butuh nasehat.. ” tegas penjual bakmi.
” lantas, mereka butuh pengaturan ekonomi? Mie instan? Itu semu. Karena yang sejatinya mereka butuhkan ialah kebeningan jiwa dan kekuatan ruhani. Itu dasar untuk menjalani kehidupan yang panjang.” Emha tak mau kalah.
Suasahan hening. Entah saling mengkritisi diri atau mencari antitesa dari sebuah premis yang terakhir muncul.
” bagaimana dengan gunungnya? ” pertanyaan itu keluar dari mahasiswa psikologi.
Wajah-wajah yang mendengar percakapan di warung bakmi itu sama sekali tidak mengerti dengan pemikiran mahasiswa psikologi. Tema percakapan sudah menarik oleh kubu materialis dan ruhani, horizontal dan vertikal.

” maksudnya? ” penjual bakmi memberi hormat.
” bagaimana dengan gunungnya yang memang tugasnya ber-erupsi? Atau dengan bahasa agama, gunung hanya menjalankan titah Tuhan.. ”
Ucapannya mulai patut diperhatikan.
” tujuh semester saya belajar psikologi, puncak tertinggi dari pengetahuan yang saya dapat ialah jika kita ingin bijak dalam memahamai sesuatu, kita harus terlebih dahulu menempatkan diri pada sesuatau yang kita ingin pahami. Kita tidak bisa memahami orang lain dengan otak subjektif dan standard pribadi kita sendiri.
Saya resah dengan label bencana pada letusan gunung. Sebelum ada manusia, gunung memang telah meletus sebagai proses tumbuhnya menjadi ”dewasa”. Gunung butuh mengekspresikan diri seperti manusia. Gunung butuh refresh seperti komputer. Dan jika diperas lagi soal kebutuhan gunung, itu tak lebih dari program kerja yang dikonstruksi dengan sangat epik oleh Tuhan, sang Raja manusia.
Bayangkan jika gunung punya perasaan? Ia telah senior sebagai ciptaan Tuhan, ia telah berjiwa besar merelakan manusia menjadi khalifah di bumi. Hanya ingin menyuburkan wilayah sekitarnya dengan abu vulkanik, erupsi gunung dilabelkan bencana.
Gunung hanya menjalankan tugasnya. Ia tak punya pilihan untuk bergerak mendiami penjuru bumi, agar erupsinya tak mengganggu manusia. Ia ingin itu, tapi yang ditakdirkan leluasa bergerak justru manusia. Gunung tak pernah cemburu oleh manusia. Sungguh hatinya tak pernah cidera. Bagi gunung, menuruti Tuhan hal yang paling ditunggu-tunggu olehnya. Lantas, kenapa kita manusia yang bisa ke luar angkasa, menganggap gunung sebagai bencana. Kalo saya yang jadi gunung bakalan ngedumel : Asuu tenan wong saiki.. seenaknya sama alam. Buang sampah sembarang ke gunung. Ngambil air dari gunung, pohon-pohon ditebang. Asuu..  ”
Penjual bakmi terperangah. Otak ekonominya tak menjangkau pemikiran macam itu. Emha, hatinya kaku untuk memahami kedinamisan sebuah kebenaran, yang baginya mutlak dan tak bisa diganggu gugat.
Mahasiswa psikologi itu menjelaskan lagi : soal mana yang dibutuhkan antara nasehat dan kekuatan ekonomi? Saya sependapat jika perlu ada arahan mengenai sikap kita terhadap alam. Tapi bagaimana jika orang yang sedang kita arahkan, mengerang kesakitan karena lambungnya tak biasa menerima makanan kota. Apa kita harus bilang, Tuhan beserta orang-orang yang sabar? Karena yang saya tahu, nabi Isa menghidangkan makanan bagi pengikutnya ketika pengikutnya berteriak lapar. Bukan menyuruh pengikutnya untuk bersabar.
Saya juga sepandapat jika kekuatan ekonomi penting. Tapi bagaimana jika orang yang akan kita beri bantuan ekonomi, sedang menangis kejar karena anaknya yang berusia 2 tahun wafat karena keseringan menghirup abu vulkanik. Apa bisa kita mengganti anaknya dengan mobil mewah atau rumah baru? ”
Memanas tubuh Emha dan penjual bakmi. Saya yang hanya jadi pendengar, sedang memposisikan diri menjadi gunung.
” apa kaum nabi nuh, warga kelud dan sinabung belangsak? Yang jelas, nabi Nuh membuat kapal super besar untuk menyambut sebuah banjir besar yang telah ia prediksi.. ”

Mahasiswa ini sedang ber-erupsi sepertinya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar