Jika ditanya apa yang
pertama kali menarik perhatian laki-laki ketika melihat perempuan, sebagian
teman saya langsung menjawab : payudara, saudara saya yang laki-laki lebih
memilih menjawab : bokong. Dua
jawaban itu memiliki perspektif sama, yaitu payudara atau bokong yang besar, itu yang lebih menarik laki-laki. Dan dua
jawaban itu bukan tanpa alasan.
Teman saya menjabarkan
argumennya kenapa menjawab payudara. Menurutnya laki-laki secara alamiah dalam proses
menjadi seorang ayah, menganggap payudara perempuan sebagai symbol
kesejahteraan bagi anak-anaknya kelak. Payudara sebagai penghasil ASI merupakan
instrumen penting perkembangan seorang anak yang baru lahir, ASI yang
berkualitas berpengaruh baik dalam tumbuh kembang anak yang baru lahir. Itu
menjadi landasan berpikir sebagian teman saya mengenai payudara.
Kemudian penjelasan
kakak saya mengenai bokong. Ia menjawab bokong, karena bokong yang besar lebih
kuat menjaga sel sperma laki-laki dalam proses pembuahan. Laki-laki rata-rata
mengeluarkan 3cc air mani dan setiap 1cc air maninya mengandung 100 juta sel
sperma. Oleh karena itu butuh tempat yang sangat baik untuk menjaga sel sperma
tersebut. Dan kakak saya menilai bokong yang besar secara simbol bisa dijadikan
tempat yang baik tersebut.
Penjelasan teman dan
kakak saya menarik bagi saya untuk memperdalam penjelasannya. Apakah benar
payudara yang besar berpengaruh pada kuantitas dan kualitas ASI? Apakah bokong
tempat bernaungnya sperma?
Pertama soal payudara,
secara logika memang tepat, payudara yang kecil menandakan kelenjar susu yang
kecil. Namun ternyata, dari berbagai artikel dan jurnal yang saya baca,
kesimpulannya ialah gizi (apa yang perempuan makan) dan kondisi psikis yang paling
berefek dalam produksi ASI.
Kemudian soal bokong.
Jawaban kakak saya itu sangat rekayasa. Bokong bukan tempat menjaga sel sperma,
melainkan sel telur yang kemudian bergerak menuju rahim, yang menurut kitab
suci, rahim perempuan ialah tempat penetapan yang kokoh.
Lantas saya mengambil
kesimpulan bahwa sebagian teman dan kakak saya sebenarnya hanya berlandaskan
pada hasrat seksual. Tidak kurang tidak lebih.
Kalau saya sebagai
laki-laki ditanya apa yang menarik dari seorang perempuan. Saya akan jawab :
mata.
Mengapa demikian? Bagi
saya mata ialah miniatur seorang perempuan dalam menerjemahkan hidupnya,
mempersepsikan lingkungan sekitarnya dan memperlakukan seorang manusia. Dari
tatapan matanyalah, kita sebagai laki-laki, bisa paham bagaimana kedudukan kita
dimatanya. Bagaimana ia akan memperlakukan sebagai seorang manusia, matanyalah
yang akan memainkan peran lebih dulu.
Filsuf kenamaan Prancis
bernama Jean Paul Sartre, memberikan perhatian khusus kepada tatapan mata
seseorang. Menurut Sartre, mata dengan tatapannya mengandung symbol dan makna tersendiri.
Dari sekian symbol yang disebutkan saya tertarik mengutip symbol penjajahan.
Symbol penjajahan di sini adalah penjajahan atas individu. Hal tersebut Sartre
jelaskan dengan contoh seorang perempuan yang sedang sendirian di taman,
kemudian dihampiri laki-laki yang menyapa dengan lembut. Awalnya perempuan
tersebut memanjakan hatinya dengan apa yang ia lihat seperti air mancur,
bunga-bunga dan anak kupu-kupu. Namun seketika berubah, dengan datangnya
seorang laki-laki. Perempuan itu tersipu malu dengan sapaan laki-laki yang
lembut. Pada momen itu Sartre berkata : sapaan laki-laki itu telah merenggut
dunia seorang perempuan.
Secara filosofis Sartre
merasa dunia seolah memiliki “lubang kecil” yang menyedot segala hal ke
dalamnya, dan lubang kecil tersebut ialah tatapan mata.
Saya merasa memiliki
selera yang sama dengan Sartre, terutama soal perspektif mata dari sudut
pandang filosofis. Jika dari sudut pandang fisik saya belum ketahui. Yang
jelas, salah satu hal yang saya sukai dari mata ialah keberadaan bulu mata.
Bulu mata yang lentik dan bulu mata yang lebat. Dalam imajinasi saya,
bidadari-bidadari di surga pasti memiliki bulu mata yang lentik dan lebat.
Kini, pandangan soal
mata terciderai akibat maraknya perempuan menggunakan bulu mata palsu. Sudah
hampir satu dasawarsa ini bulu mata palsu digunakan secara berjamaah. Ialah
artis kenamaan Indonesia bernama Syahrini yang makin mencetarkan peggunaan bulu mata palsu. Ia buat trend bulu mata anti
badai, bulu mata yang super lebat nan lentik. Otomatis ia menjadi cantik jelita
dan memberi kesan pada khalayak umum bahwa bulu mata palsu itu penunjang yang
apik untuk cantik.
Tak peduli dengan
kalimat cerdasnya : beautiful is paint,
saya sebagai penggemar berat terhadap mata yang satu paket dengan bulu mata
merasa terciderai oleh rekayasa atau kepalsuan tersebut. Kealamiahan mata yang
Sartre sebut sebagai lubang kecil, akan berkurang nilai sakralnya. Beberapa
kaum perempuan membela diri dengan mengatakan “ memakai bulu mata palsu sebagai
bagian dari mempercantik diri ialah hal yang wajar. Perempuan harus tampil
cantik! “
Saya pribadi sepakat
soal itu. Masalahnya tidak sampai pada titik itu saja. Bukan hanya soal
Syahrini atau yang lain memakai bulu mata palsu. Bukan!
Persoalan ini sudah
melesat jauh di ruang pikir saya pada tahap perbandingan. Ya, perbandingan!
Bagaimana bulu mata palsu membuat ketertarikan saya pada salah seorang
perempuan berkurang 20 persen. Sebabnya ialah bulu matanya kini tak lagi
terlihat menarik karena saya sudah diberi standar bulu mata yang lebih lebat
dan lentik meski palsu.
Saya terjebak dalam
mekanisme perbandingan yang saya ciptakan sendiri melalui sensasi-sensasi yang
dunia luar berikan.
Saya kira itu terjadi
pada manusia di seluruh dunia. Hampir semua.
Guru sejarah saya
pernah bercerita. “ yang membuat Soekarno berani memerdekakan Indonesia ialah
karena ia berani meminang Fatmawati dan mengkhianati Inggit. Jika mengkhianati
manusia yang paling ia cintai saja berani, kenapa harus takut untuk
memerdekakan suatu Negara. Mengkhianati cinta sejati, itu lebih sulit daripada
memerdekakan suatu Negara! Itu perbandingan.”
Murid teladan bertanya
“ kok perbandingan?”
Guru sejarah itu
bertanya kepada sang murid “apakah pernah merasa kehilangan?”
“ pernah. Sewaktu ibu
meninggal.” “pernah diputusin pacar?”
“ pernah.” “ nangis?”
“gak.”
Guru sejarah saya
tersenyum. “ kamu tidak nangis karena pernah kehilangan ibu kamu. Kamu pernah
mengalami rasa sakit yang teramat sewaktu kehilangan ibu kamu. Dan itu menjadi
suatu kekebalan ketika kamu diputusin pacar. Itulah secara tidak langsung kamu
memberlakukan konsep perbandingan di pikiran dan perasaan.”
Murid teladan tersebut
diam. Mengiyakan perkataan sang guru dalam hati.
Benar. Harga
pemain-pemain sepak bola eropa melambung drastis. Nilainya berkisar setengah
triliun. Hal ini terjadi karena harga mega bintang Cristiano Ronaldo yang
dibeli klub Real Madrid mencapai 1,3 triliun. Maka, klub Barcelona
memberlakukan suatu perbandingan dengan menaikkan harga Leonel Messi, peraih
empat kali pemain terbaik dunia, berkisar 2 triliun.
Dalam skala kecil,
seperti menawar bajaj kita sering menggunakan bahasa tawar seperti ke tempat ini aja lebih murah bang.
Artinya perbandingan itu memang sudah menjamur di otak manusia.
Saya pernah menggelontorkan
tema perbandingan didiskusi dengan salah satu teman yang saya nilai kompeten. “
perbandingan itu ialah keajegan Tuhan yang biasa kita namai takdir. “ begitu
katanya tempo itu, menyetrum daya intelektual. “ itulah sebab manusia harus
belajar setiap hari dan berkembang setiap waktu. Karena di antara itu ada
perbandingan pada sebelum dan sesudah. Manusia melalui pikiran menjadi jembatan
dalam sistem perbandingan, sehingga muncul penilaian baik dan buruk.”
Ketangguhan logika
teman saya itu tak dapat saya tandingi. Saya hanya memunculkan pertanyaan : “
sampai kapan kita harus membanding-bandingkan satu dengan yang lain? Masa lalu
dengan masa kini? Sampai kapan manusia harus mencari kata-kata seperti perak
emas platinum diamond untuk menobatkan suatu objek yang luar biasa? “
Teman saya terdiam,
menampung pertanyaan saya. Bukan karena bobot pertanyaannya, yang awalnya saya
anggap berkualitas, tapi karena bertubi-tubi.
“ di situ magnet
kehidupan di letakkan. Perbandinganlah yang membuat manusia bergerak untuk
meraih keragaman pengalaman yang ujung pangkalnya dirumuskan dalam konsep
perbandingan dan kenangan. Jika kita membandingkan kehidupan saat ini dengan
imajinasi kita, di mana ada kehidupan yang lebih layak, tanpa sadar
perbandingan dan imajinasi menuntun kita untuk bergerak. Dengan pergerakan itu
kehidupan, yang kata Chairil Anwar hanya berjibaku melawan rasa bosan, berjalan
dengan wajar.”
Entah kenapa saya
kurang sepakat namun tak mungkin diutarakan mengingat ketangguhannya
berargumen.
Saat sendirian saya
baru ngeh kenapa saya kurang
sependapat. Alasan klasik : idealisme. Ya, idealisme yang saya anut berupa
kesetiaan. Kesetiaan ialah puncak tertinggi dari dari sebuah sikap. Jadi, jika
ada perpindahan atau bahasa teman saya tadi, pergerakan, saya khawatir mengikis
rasa setia. Kesimpulan sederhana saya, manusia yang bergerak dan
berpindah-pindah ialah manusia yang tidak setia. Mencari pengalaman-pengalaman
baru yang kemudian dirumuskan dalam buku perbandingan itu termasuk bentuk anti
kesetiaan.
Hebatnya, beberapa jam
kemudian saya mendapati antitesa dari pernyataan di atas. Bukankah kesetiaan
itu justru tinggi nilainya karena banyaknya pergerakan dan perubahan dalam
hidup. Kesetiaan menjadi hal dramatis ketika ia mampu bertahan dikerubuti tarik
menarik kepentingan.
Balik lagi ke persoalan
bulu mata.
Seorang perempuan yang
saya sayangi namun sudah berkurang 20 persen, beberapa kali saya lihat memakai
bulu mata palsu. Saya tertawa kecil, karena tiba-tiba rasa sayang saya
berkurang 50 persen.
Perbandingan itu
menipu. Sekarang saya belajar “setia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar