Dow iba


Di tengah hutan belantara, seorang harimau yang diberi nama Dow oleh alam, sedang berkeliaran mencari mangsa. Sesungguhnya santapan sore itu, ia ingin sekali rusa muda, yang dagingnya menurut Dow, paling empuk dan lezat. Dow yang sendirian, sudah berjalan berkilometer guna memenuhi kebutuhan dasarnya. Rusa muda tak kunjung terlihat, karena para rusa sudah mendapat kode alam akan perburuan harimau sore itu. mungkin juga, rusa-rusa secara naluri hafal jadwal makan harimau. Jadinya, rusa-rusa sembunyi ke tempat yang tak terdeteksi oleh harimau.
Perut Dow semakin lapar. Ia tak khawatir penyakit maag, tak khawatir lain-lainnya. Jauh sebelum Dow ber-reinkarnasi menjadi harimau, ia sudah diingatkan soal rejeki dan pengaturannya. Dow betul, ia menemui seokar induk kera. Baginya, induk kera yang ia temui ialah rejekinya sore itu. Rejeki tak baik ditolak, begitu makna aumannya. Dengan langkah cepat ia menyerang induk kera itu dari belakang. Induk kera tersebut langsung membungkukan badan seperti ada yang disembunyikan. Gigitan Dow di bagian leher induk kera yang semakin kencang, hanya dibalas induk kera dengan erangan. Itu pasti sakit sekali. Induk kera tak tahan lagi, gigitan Dow terlalu tajam untuk ditahan. Induk kera menuju ajalnya, dengan tatapan haru melihat perutnya.
Dow membawa mayat induk kera dengan mulutnya ke batang pohon, singgasananya. Ia tak sabar memindahkan daging induk kera ke perutnya. Mata Dow sungguh tergiur oleh mayat induk kera. Tak ada sedikitpun keibaan. Tak ada sedikitpun! Ia seperti manusia yang menyembelih ribuan sapi, ayam, atau kambing setiap harinya. Ia seperti manusia yang menepuk ratusan nyamuk tiap malamnya, karena kebutuhan hidup. Jadi, jangan bicara keibaan.
Dow entah membaca doa atau tidak sebelum memakan induk kera, mengendus dan menjilat mayat induk kera. Itu ritual sebelum Dow makan. Tapi ada yang aneh pada diri Dow, ia terlalu lama membiarkan mayat induk kera. Ia terganggu oleh suara pada tubuh induk kera. Apa induk kera itu masih hidup? Begitu pikir Dow. Tiba-tiba dari balik tubuh induk kera, keluar sebuah anak kera. Ia melepaskan diri dari pelukan induknya.
Dow kaget. Apalagi melihat anak kera yang terjatuh dari batang pohon karena tidak bisa menjaga keseimbangan. Dow langsung menuruni batang pohon dengan tergesa ke tempat jatuhnya anak kera. Ia tak peduli mayat induk kera dan rasa laparnya.
Anak kera itu terjatuh di tumpukan jerami. Dow langsung mengangkat tubuh anak kera dengan mulutnya yang bertaring super lancip. Setelah itu anak kera dijatuhkan oleh Dow ke tempat yang lebih nyaman, di atas dedaunan. Anak kera dengan kelopak mata yang melebar menatap jauh ke depan. Kosong. Ia tak peduli ada harimau besar yang ganas sejengkal darinya. Tidak ada yang tahu pasti, apakah anak kera itu sudah mengetahui mana-mana saja hewan yang berbahaya. Apakah induk kera sudah mengajarkannya cara bertahan hidup menghadap kehidupan rimba. Tidak ada yang tahu pasti. Namun dilihat dari sikap anak kera ketika diputari harimau besar bernama Dow, yang baru saja membunuh induknya, anak kera itu tak gentar. Ia hanya menutup matanya dengan gerakan lambat, seakan melepas perasaan dengan induknya. Ia terkenang erangan induknya yang menahan sakit sewaktu digigit Dow tepat diurat leher.
Dow yang telah banyak belajar dari hutan rimba mengenai naluri hewan, tahu betul maksud gerakan mata si anak kera. Ia mengalami feeling guilty. Ya, itu nampak dari kaki-kaki depan Dow yang mengelus kepala anak kera, yang berarti itu ungkapan empati. Tau apa yang dilakukan anak kera? Ia mengelak. Ia belum lupa, siapa pelaku yang membunuh induknya. Ada kemarahan yang menggores hatinya. Ada dendam walau secuil. Jadi setiap elakan dan gerakan tubuhnya yang membelakangi, itu ialah bentuk penolakan dari sang kera.
Dow sudah terlanjur mengedepankan perasaannya untuk menghadapi anak kera. Padahal jika ia mengenakan logika dalam melandasi perilakunya, tentu Dow mengutamakan perutnya yang lapar. Tapi di waktu yang biasa manusia namakan senja itu, ia kudung melankolis. Ia bersusah payah menunjukkan sikap bersalahnya. Meski beberapa kali anak kera menolak.
Waktu hampir gelap. Menyadari itu, Dow tak segan memasukkan anak kera ke dalam mulutnya-untuk kedua kalinya. Ia membawa anak kera ke singgasananya kembali. Ke batang pohon yang kekar dan layak menjadi tempat tidur seekor harimau besar.
Anak kera masih apatis. Bulan yang nampak di pelataran malam baginya itu karangan bunga dari Tuhan tanda berkabung. Matanya sayu, badannya lemah mengelak rasa bersalah Dow. Dow yang terbiasa dengan sifat ambisius belum menyerah untuk menyenangkan hati anak kera. Dengan bahasa aumannya yang jelas tak dimengerti oleh anak kera, ia hanya ingin berkata maaf. Maaf.
Jangan keliru. Anak kera mengetahui soal maaf itu dari bahasa tubuh. Tapi apakah ibu bisa diganti oleh kata maaf? Pertanyaan itu yang lantang ia suarakan melalui diamnya.
Selain rembulan sebagai tanda berkabung, alam yang bersaksi atas makhluk hidup tak kuasa menahan air mata. Perasaan awan telah menggumpal hitam, maka basahlah bumi oleh air mata alam.
Suasana menjadi kian dramatis. Anak kera yang diguyur hujan, belum terbiasa menahan dingin. Peluang ini dimanfaatkan oleh Dow, dengan menghangatkan tubuh anak kera. Caranya ialah menindikan badan anak kera dengan perutnya, agar anak kera tak lagi terkena guyuran hujan. Dow mengelus jidat anak kera dengan lidahnya yang panjang. Akhirnya, setelah berjam-jam merayu, anak kera menunjukkan senyum kecil dan giginya yang baru tumbuh. Dow senang, dan semakin membiarkan tubuhnya kedinginan guna menjadi pelindung anak kera yang beberapa jam lalu, ibunya Dow bunuh.
Hujan berhenti. Anak kera sudah tertidurdiselimuti tubuh harimau besar bernama Dow. Mimpinya sedang menjadi penelitian manusia, setelah banyak pertanyaan : apakah hewan bermimpi seperti manusia?

Dan kisah di atas ialah mimpi seorang manusia belaka. Manusia yang persepsinya dipengaruhi oleh film tarzan, yang imajinasinya terganggu oleh lirik lagu Cikal karya Iwan fals dan yang harapannya dibumbui oleh cerita kuil harimau di Thailand. 
Persoalan induk kera yang dibunuh oleh Dow kemudian Dow bertemu dengan anak kera itu kenyataan. Hingga rasa bersalah Dow itu tetap realita. Tetapi di malam harinya, yang tejadi sebenarnya ialah Dow berkelahi dengan kawanan hyena karena memperebutkan daging induk kera. Perkelahian berlangsung sengit. Hyena yang berjumlah 4 bergantian menyerang Dow. Dow bukan tanpa perlawanan, dengan gerakan menyerang cepat, ia masih berpikiran untuk melindungi 3 hal sekaligus. Pertama, dirinya. Yang kedua, induk kera untuk makan malamnya. Dan yang ketiga, anak kera.
Hasil pertempuran sengit itu, satu Hyena sekarat oleh gigitan Dow. Anak kera dan induk kera berhasil direbut dan menjadi santapan malam kawanan hyena. Proses itu biasa terjadi, tak perlulah ada perasaan gegap gempita.

1 komentar:

  1. lantas moral dan etika yang dibawa manusia sejak awal(katanya) evolusi hanya dusta untuk menutupi liur dan sperma?

    BalasHapus