Sholat Itu Tidak Wajib!



"Saya pikir sholat tidak wajib bagi kita..."

Pengajian pagi itu mendadak hangat oleh ucapan seorang ustad muda bernama Rahmat. Ucapannya barusan, membuat darah jemaah yang mendengarkan lari ke tengkuk. Sebagian jemaah yang senior geram bin naik pitam. Bahkan sudah ada pikiran untuk membubarkan pengajian.
Ustad Rahmat sebenarnya paham dampak ucapannya, namun ia memilih tenang.

Shalat Maktubah yaitu 5 waktu, hanya wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang mukallaf, yaitu yang telah baligh, berakal sehat, laki-laki atau lainnya, dan yang suci.  Kita lihat syarat baligh. Baligh dalam arti sederhana yaitu dewasa, atau terjemahan dalam konteks yang lebih konkret ialah dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.
Bagaimana mungkin, saya bisa memberlakukan hukum wajib bagi kita, jika kita tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah.
Lihat kenyataannya. Benar-salah yang sejatinya kukuh terdikotomi menjadi objek abu-abu melalui pembenaran subjektif kita yang “keropos”. Kemudian kita mendramatisir itu semua dengan kesimpulan, bahwasanya benar salah itu milik Tuhan yang maha mengetahui. Benar salah itu hanya Tuhan yang tau.
Jika kesimpulanya demikian, manusia tidak pernah akan menjadi baligh. Manusia tidak akan pernah wajib untuk sholat. Dan akhirnya Tuhan sajalah yang pantas menjalankan sholat. Tapi apakah Tuhan sholat? Tentu kan tidak..
Itu baru satu kenyataan, bagaimana kita masih pontang-panting dengan benar salah itu sendiri. Padahal Al Qur’an, Hadits dan tata cara hidup Rasulullah sebaik-baiknya pedoman.
Mungkin jemaah ada yang berkomentar dalam hati bahwa baligh itu ditandai oleh mimpi basah bagi kaum laki-laki atau menstruasi bagi kaum perempuan. Di kegiatan yang semoga di ridhoi Allah ini, saya ingin menekankan betapa sholat itu ritual yang agung, yang menyelindapkan cahaya-cahaya nan silau yang menuntun tingkah laku. Tanda baligh menstruasi dan mimpi basah itu sebatas jasmani, yang akan mengempiskan makna ritual agung itu sehingga hanya menjadi kegiatan olahraga semata.“

Gemparlah batin jemaah yang mendengar. Terguncanglah pikiran ulama setempat yang ortodoks mengetahui penjelasan Ustad Rahmat. Suasana begitu hening. Semua sepakat yang pantas memecah keheningan itu suara Ustad Rahmat.

“ Kita lanjut ke syarat berikutnya. Berakal sehat! Pertama apa kriteria akal yang sehat. Bagaimanalah mungkin saya merusmukan akal sehat jika setiap akal manusia itu terjadi dari pengalaman masing-masing individu. Setiap akal itu terbentuk dari sensasi yang terolah oleh panca indera padahal kita ketahui, setiap manusia memiliki pengalaman dan sensasi yang sangat-sangat berbeda. Beraneka ragam bin bermacam-macam.
Jika orang gila teridentifikasi walau sebatas permukaan, kelak suatu hari orang sehat dengan akal yang pasti juga sehat dapat dirumuskan segala bentuk dan unsurnya.
Mungkin jemaah berpendapat, akal sehat itu urusan pikiran yang normal dengan mengikuti pola pikir sesuai norma.
Saya sekarang bertanya: Apakah Dzat yang kita sembah dalam ritual sholat bisa ditelusuri oleh akal sehat? “

Pertanyaan itu hanya dijawab oleh keheningan. Oleh wajah-wajah termangu.

“Apakah materi otak kita tempat bersemayamnya logika, mampu mengenali harumnya Allah? harumNya saja? “
“Akal sehat itu runtuh ketika Dzat yang maha itu melintas. Kita tidak berarti apapun, apalagi mengartikan. Allah dikenali dengan spiritualmeter. Dan sholat ialah perjalanan ruh yang akan menggetarkan arsy-Nya. Ribuan nuklir tidak akan bisa menggetarkan arsy Tuhan, melainkan kalimat  Ihdinās sirātal-mustaqīm yang penuh kerendahan hati yang mampu menggetarkan.“

Pengajian kian hangat sebabnya Matahari disuruh memanas walau sudah jutaan tahun. Matahari tak kenal mengeluh. Jiwanya takkan mungkin cedera. Mungkin itu yang disebut istiqomah.

“Akhirnya saya minta izin untuk mengingatkan diri saya, jika hidup itu hanya tentang pembelajaan seumur hidup. Tiap hari, bahkan tiap menit belajar. Tetap menjadi anak kecil yang siap menerima didikan dari setiap kejadian alam. Siap mengeja Tuhan dari berbagai wajahNya di bumi. Dan sampailah aku mengenaliMu walau hanya melihat ujung kuku dan bulu-bulu di tubuh. Kalau demikian, maka setiap jentik dan unsur di tubuh ini ikut sholat, ikut berdoa, dan ikut memuja serta ikut bertakbir.                                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar