Subjektivitas Cinta


Bukan dalam kesunyian ataupun kesindirian aku memikirkannya. Apa ini sebenarnya? Apa yang kamu, aku dan mereka bicarakan tentang cinta? Seekor kupu-kupu yang akan pergi jauh jika kamu kejar? Sebuah layangan dengan kendali, yang pergi dan datang bergantung pada anginnya? Sebuah rasa, harapan, bualan, dengan sedikit dusta didalamnya? Ah. Apa yang kita pikirkan? Filosofi cinta merupakan ketertarikan, rasa belas dan kasih sayang, katanya. Yang seperti apa? Jadi apa pikiran-mu tentang cinta? Apakah cinta ada untuk dipikirkan? Apakah cinta adalah suatu pikiran? Apakah pikiran-pikiran itu disebut cinta? Apakah kamu mencintai pikiran-pikiran cintamu itu? Apakah cinta-mu itu memikirkan kamu?

Aku-pun pernah merasakan hal yang katanya layak dikatakan sebagai cinta. Menikmati hal yang orang lain sebut itu cinta. Membangun suasana yang berdiri dengan bualan kata cinta. Bahagia. Bahagia. Bahagia. Padahal tahu bagaimana akhirnya. Akhirnya cinta bukan lagi cinta. Apa yang telah aku lakukan? Apa juga yang telah aku lewatkan? Tidak, bukan aku. Tapi kita.

Mereka bilang cinta bukan untuk dipikirkan, tapi hanya untuk dirasakan. Lalu perasaan apa yang kamu pikirkan? Lalu pikiran apa yang kamu rasakan? Bukankah cinta-mu itu berasal dari pikiran? Pikiranmu itu juga bisa berasal dari cinta. Lalu apa?

Cinta dan logika bukan suatu hal yang bisa dipersatukan katanya. Tapi menurutnya cinta butuh saling memahami? Memahami-pun butuh logika. Jadi apa sebenarnya? Katanya cinta tak tahu kapan datangnya, bahkan pemiliknya sekalipun. Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan segala ketidaktahuan kita tentang cinta? Menikmatinya? Menikmati apa? Kita pun tidak tahu apa yang sebenarnya  sedang kita nikmati itu. Jadi dengan apa cinta bisa dibaca? Dengan bahasa cinta? Dengan apa cinta bisa dirasakan? Dengan perasaan cinta? Jadi apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar