Sejarah
Mengingat masa
depan belum diketahui dan hanya bisa diprediksi secara asal dari pola kejadian
masa lalu, maka bicara masa lalu menjadi menarik dan apa boleh buat. Sejarah
yang diambil dari kata syajaroh dalam bahasa arab yang berarti pohon, sejatinya
ialah akar dan benih yang diperuntukkan meringkus masa depan, entah itu dalam
bentuk ranting, daun, buah, atau bunganya sekaligus. Bentuk keentahan itulah
maka terjabar bagaimana kinerja sejarah bukanlah persoalan lembaran masa lalu
saja akan tetapi sudah masuk pada ruang bagaimana semestinya masa depan itu
direncanakan dan dihasilkan.
Kenapa kinerja
sejarah butuh sekali diperluas sampai mencakup masa depan?
Pernyataan salah
seorang guru sejarah di dalam suatu kelas bisa dikritisi. Ia mengatakan bahwa
sejarah bukan untuk orang-orang kalah. Lebih baik nama kita tak tercantum dalam
sejarah apabila kita termasuk orang-orang kalah.
Waktu itu sang
murid yang suka remedial dalam berbagai pelajaran, melontarkan pendapat ”
pantes Pak Soekarno bilang jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Karena
beliau tercantum dalam golongan orang menang. Tidak mungkin Firaun raja Mesir
yang mengatakan demikian karena sejarah tidak mengagung-agungkan namanya ”
Murid yang suka
remedial itu di otaknya bergelimang pengetahuan, salah satunya deretan
prestasi-prestasi Firaun dalam membangun Mesir sehingga menjadi suatu peradaban
dunia dan pusat ilmu yang berguna bagi orang-orang setelahnya tidak terkecuali
orang yang menghujatnya.
Jika pengetahuan
murid itu tertuang atau hanya tercecer saja, pasti polemik sosial lahir. Sebagian
besar manusia yang pola pikirnya disempitkan oleh ”sekolah”, oleh rukun ekonomi
dan dogma agama pasti nafsunya bagai terkena cairan bensin. Mungkin suatu
kebijaknasaan atau jutsru ketidakberanian menjadi minoritas, murid itu
menyimpannya dalam diam.
Suatu waktu murid
itu membeberkan dosa-dosa Nabi Ibrahim dan Moh. Hatta dengen menempelkan tulisan
di mading sekolah. Sudah pasti jadi bahan perbincangan para murid, para guru
dan guru agama yang paling sensitif.
Bayangkan, seorang
guru agama mendapati tulisan muridnya yang isinya : Ibrahim terlalu cerdas
untuk berpikir dan mencari Tuhan. Memerintahkan patung (yang dahulu dijadikan
berhala) untuk memberi kesaksian atas hancurnya patung lain itu sama saja mencederai
sejarah. Patung itu hanya simbol atas ketidakmampuan indera manusia arab waktu
itu dalam memahami bentuk Tuhan yang sebagaimanamestinya. Sama seperti Ibrahim
yang awalnya menyangka matahari dan bulan itu Tuhan. Lantas apa sejarah berani
melabelkan Ibrahim itu musyrik pada periode ia menyangka Bulan atau Matahari
itu Tuhan.
Darah guru agama
mendidih. Di kepalanya sudah berakar cerita para rasul yang tak ada celah
buruknya sama sekali. Mengintip para rasul secara vulgar baginya kekurangajaran
tak termaafkan.
Tak ada jalan
tengah yang bisa dikompromikan sehingga menguntungkan antara murid dan guru,
kecuali sang murid mengalah kepada kekuasaan-mayoritas.
Sekarang soal Moh.
Hatta mantan wakil presiden pertama Indonesia. Boleh lah kita luluh dengan
cerita Bung Hatta yang selalu melihat arah sinar matahari ketika mengendarai
mobil. Ia hanya ingin memastikan istrinya tidak kesilauan. Jika sinar matahari
mengarah ke kanan, dipastikan istrinya duduk di sebelah kiri. Atau soal
kemurkaan Bung Hatta terhadap Singapura sampai-sampai ia mengharamkan kakinya
menginjak daratan Singapura, karena menjatuhkan hukuman gantung kepada warga
Indonesia. Banyaklah mutiara kisah dari seorang Bung Hatta, seakan ia sosok
sempurna dengan keteladanan dan wibawa.
Benarkah
berketeladanan sempurna? Lagi-lagi mengintip ketidaksempurnaan yang terlanjur
menjadi sempurna suatu kekurangajaran. Tapi biarlah kata kekurangajaran menjadi
tumbal dari lahirnya energi sejarah yang tak pernah mencapai revolusi. Karena
jika dibuka isi otak murid yang suka remedial itu, Mohammad Hatta bukanlah
teladan yang baik bagi rakyat dalam proses berpolitik.
Tahun 1956 Bung
Hatta mundur dari jabatan sebagai wakil presiden hanya karena perselihan paham
dengan Bung Karno. Setelah itu ia memilih membangun bangsa ini dengan
tulisan-tulisan yang menggugah. Mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat
Bung Karno. ” Tujuannya selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya
sering membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu ” demikian tulisan Bung Hatta
yang ditujukan untuk Bung Karno.
Bung Hatta tidak
sadar bahwa pilihan politik dan caranya membangun negara diikuti oleh ribuan
orang yang sama mulianya seperti Bung Hatta. Termasuk sang murid yang sangat
mengagumi Bung Hatta dengan kritis.
Lihat sekitar
kita. Diantara kita yang memiliki hati mulia malah berdiam membiarkan
orang-orang di sana berkelahi untuk memutuskan sebuah kebijakan. Keteladanan
yang diberikan BungHatta meresap sampai sendi masyarakat yang tergolong mulia,
dengan menghindari perselisihan karena menganggap politik hal yang kotor.
Bung hatta harus
bertanggung jawab untuk itu. Merawat imajinasi kita tentang Indonesia versi
Bung Hatta ialah fantasi yang menarik sehingga membuat raga tak bergerak.
Oiaa ada cerita
dramatis ketika Bung Hatta sampai akhir hayatnya tak mampu beli sepatu Bally
yang terkenal pada saat itu. Cerita semacam ini membentuk pertanyaan di kepala
kita, bagaimana cara menjadi seorang Bung Hatta yang sederhana, tapi mengkerdilkan
hasrat banyak orang untuk berpolitik. Bagaimana mungkin orang (anggaplah
berpikir stimulus-respon dan reward-punishment)
pada saat itu tergiur dengan politik sementara untuk beli sepatu saja tidak
bisa. Oleh karena itu, gaya flamboyan Bung Karno lebih menarik orang lain untuk
terjun ke dunia politik, setidaknya berlaku untuk anak-anaknya.
” Sejarah jangan
sampai kalah dengan dongeng anak-anak, setarapun tidak boleh. Sejarah itu
kehidupan. Apapun segala unsur di kehidupan, itulah sejarah ” demikian kata
pamungkas guru sejarah dihadapan para murid yang sebagian mengantuk.
Kata seorang murid,
selepas guru sejarah itu meninggalkan kelas : Mengingat masa depan kita belum jelas alangkah baiknya kita memikirkan
masa depan kita saja. Soekarno, Hatta, Soeharto atau SBY sekalipun, gak
pengaruh sama uang jajan kita.
Sang murid yang
suka remedial di hati terdalamnya bergejolak ingin seperti Soekarno yang
menggebu-gebu dan seorang eksekutor. Namun kemampuan motoriknya dielus
keteladanan Hatta dan menyuruhnya untuk menulis apa yang ada di hatinya, dan
suatu waktu ia tempel lagi di mading. Ia tak pernah kapok, walau nilai-nilai
ujiannya dibuat jelek sama banyak guru.
Ia pandang wajah
teman-temannya dengan sinis. Dengan tatapan membunuh. Lalu ia berjalan ke depan
kelas mengambil sebuah spidol dan menulis di papan tulis : Sebuah abad besar telah lahir,
namun ia menemukan generasi kerdil – Hatta
Ia lalu pergi
keluar kelas sambil bersenandung lagu Perikemanusiaan ciptaan Guruh Soekarno
Putra..
Oh bagai
raja-diraja
Dikala seseorang
sedang mengalami jaya
Semua orang
menyanjung-nyanjung dan memuja
Semua orang
mengelu-elu dan memuji
Tapi bila
telah tak terpakai
Dia dihina,
dicaci
Dinista,
dimaki
Seakan tak
pernah dia berjasa
Seakan dia
makhluk tak berguna
Namun tinta
sejarah
Tak akan
pernah musnah
Walau dihapuskan
Suatu saat
kan tiba
Mata umat
terbuka
Tinggal kesan
dan sesal
Tinggal kesan
dan sesal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar