Sepak bola memakan korban! Identitas korban itu mengarah pada satu nama
yaitu Brazil.
Tujuh gol yang bersarang ke gawang Brazil
menciderai hati dan memproduksi air mata bagi ratusan ribu rakyat Brazil. Di
kala krisis sosial dan ekonomi yang menimpa Brazil, predikat tuan rumah
sekiranya bisa menjadi panggung sandiwara yang menghasilkan kegembiraan,
kebanggaan nasional dan kebahagiaan. Alhasil, sepak bola tidak selamanya mampu
menjadi ”berhala” yang menuntaskan setiap dahaga jiwa dan kerapuhan roh. Ibarat
kemenangan sepak bola itu alam surga, Jerman ialah bala tentara setan yang sepakat menggoda pemain Brazil hingga
terjerumus pada derita neraka.
Ya. Sepak bola memang sebesar itu. Caranya
mempengaruhi manusia bisa setara dengan cara agama mengikat manusia melalui
dogma. Bayangkan.. di Argentina, ada sebuah gereja kecil yang dinamakan Maradona,
si tangan tuhan. Gereja tersebut secara khusus memuja Maradona, melalui kitab
sucinya yaitu buku-buku biografi Maradona. Di beberapa begara eropa,
menyaksikan sepak bola di akhir pekan sudah dianggap ritual ibadah, hingga ada
anekdot bahwa bola ialah reinkarnasi buah kuldi, yang secara filosofis bahwa
bola ialah satu-satunya produk surga yang ada di bumi.
Sepertinya itu berlebihan. Namun Brazil sudah
kudung jatuh cinta sehingga kata berlebihan tidak berlaku. Maka, parahnya
krisis ekonomi atau bahkan sampai terjadi huru-hara tidak menyurutkan panitia
Brazil menyelenggarakan ”ibadah” sepak bola di tanah kelahirannya. Pihak
penyelenggara, dari Presiden FIFA sampai Presiden Brazil percaya bahwa sepak
bola bisa menciptakan genetika imun dalam meredam virus konflik.
Mereka berkaca dari peperangan abadi
Israel-Palestina yang sering kali mendadak damai hanya karena ingin terlibat
dalam kemeriahan sepak bola.
Tapi, apa jadinya kalau Brazil yang telah mengutus
”nabi-nabinya” untuk merebut trofi piala dunia kalah telak 1-7 oleh Jerman?
”Nabi-nabi”nya pun menangis, apalagi puluhan ribu
suporter di dalam stadion dan ratusan ribu di luar stadion. Para pakar sepak
bola tidak memiliki teori yang pas untuk menjelaskan kekalahan tersebut.
Bayangan bencana sosial di Brazil setelah piala dunia seperti yang dialami oleh
Afrika Selatan 4 tahun silam, menjadi persoalan yang lebih familiar di otak
ketimbang mengevaluasi kekalahan dan memikirkan ada sebuah negara yang mampu
membalaskan dendam terhadap Jerman.
” Saya ingin membahagiakan rakyat Brazil ” begitu
ucapan Kapten David Luiz, seakan negaranya sedang merasakan penderitaan yang
amat sangat.
Sepak bola kali ini mengajarkan manusia tentang
sakit hati. Tentang impian-harapan yang tidak melulu menjadi harapan. Atau
barangkali, seandainya Brazil menjadi juara piala dunia pun kondisinya tetap
getir. Mengutip kalimat Zlatan Ibrahimovich, striker Swedia : mimpi biarlah
menjadi mimpi, agar tetap indah. Jika mimpi menjadi kenyataan kegetiran
menyusup di dalamnya.
Kenyataan sekarang, Brazil kalah. Beberapa orang
mencoba bunuh diri karena terlalu menjiwai dalam peran di panggung sandiwara
yang skenario awalnya berakhir bahagia. Brazil siap dengan konsekuensi. Karena
setiap generasi yang menciptakan berhala baru pasti akan berurusan dengan
ketidakpuasan atas berhala yang dipikrnya akan selalu menjadi sumber
kebahagiaan tanpa pengecualian.
Kini piala dunia menempatkan Jerman dan Argentina
di partai puncak. Mungkin saja ada agama baru bernama Lionel Messi jika
Argentina menang sehingga setidaknya wajah negara Amerika latin terjaga baik.
Mungkin juga benih kesabaran Jerman yang tiga penyelengaraan terakhir menduduki
tiga besar, berbuah gelar keempat. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu yang
menjaga drama sepak bola sehingga tidak membosankan.
Kemudian pertanyaannya : kapan Indonesia ke piala
dunia?
Rasanya sulit, mengingat sepak bola secara
pengaplikasian telah menjadi berhala dan tumbuh menjadi agama. Indonesia nanti musyrik..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar