Mosi Tidak Percaya

“Ini masalah kuasa, alibimu berharga
Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?
Kamu tak berubah, selalu mencari cerah
Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah
Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah
Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah
Kamu ciderai janji, luka belum terobati
Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli
Janjimu pelan pelan akan menelanmu
Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tidak berdaya
Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya”
(Efek Rumah Kaca – Mosi Tidak Percaya)

Setiap orang memiliki sikap masing-masing dalam melihat suatu kebijakan atau kondisi tertentu di suatu sistem pemerintahan yang dianggap tidak sesuai atau tidak adil. Ada yang apatis dan ada yang berjuang untuk merubahnya. Perjuangan untuk merubah pun ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Ada yang dengan cara berusaha masuk menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap kebijakan atau kondisi terebut untuk dapat merubahnya dari dalam dan ada pula yang dengan cara melakukan massa aksi. Massa aksi inilah yang pergerakannya cenderung dapat dilihat secara langsung baik oleh pihak yang dikritik, maupun masyarakat umum.

Secara garis besar, massa aksi dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu pemboikotan, pemogokan, dan demonstrasi. Di Indonesia, metode massa aksi yang sering dilakukan adalah metode demonstrasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demonstrasi berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal. Pengertian ini diperkuat dengan realitas bahwa demonstrasi ditunjukkan dengan massa yang berbaris di sepanjang jalan raya atau digedung rapat, dengan maksud mengajukan protes atau tuntutan terhadap suatu kebijakan atau kondisi yang ada.

Massa aksi merupakan salah satu senjata ampuh untuk menunjukkan sikap secara langsung terhadap suatu kebijakan. Keberadaannya yang begitu mencolok dapat membuat pihak yang dikritik maupun masyarakat umum dapat melihat. Dalam hal ini, massa aksi dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Kontrol sosial yang diperlukan agar pihak yang dikritik tidak kebablasan atau bertindak seenaknya.

Massa aksi juga dapat dilihat sebagai suatu argumentasi ancaman bagi pihak yang dikritik karena menunjukkan betapa besarnya kekuatan massa. Bahkan perubahan zaman di Indonesia secara tidak langsung disebabkan oleh adanya suatu massa aksi baik itu perubahan dari zaman Orde Lama ke zaman Orde Baru maupun perubahan dari zaman Orde Baru ke Era Reformasi.

Namun, pelaksanaan massa aksi kerap ditanggapi dengan negatif karena adanya tindakan kekerasan atau pengrusakan yang dilakukan saat massa aksi berlangsung, terutama saat demonstrasi. Padahal perlu juga diingat bahwa massa aksi merupakan hasil kombinasi dari kemarahan atas ketidakadilan yang tidak diselesaikan, konformitas, dan pengetahuan bahwa hanya lewat kekerasan dan pengrusakan mereka akan diperhatikan. Apakah kita bisa menyalahkan mereka atas kondisi tersebut? Apakah kita bisa menyalahkan massa aksi jika zaman kita sendiri merupakan buah tangan dari suatu massa aksi?

Baik jika dilakukan dengan kekerasan atau pengrusakan maupun tidak, massa aksi tidak akan dapat memberikan hasil yang nyata jika tidak didukung oleh banyak pihak. Massa aksi tidak akan berhasil jika masih banyak kaum intelektual yang meremehkan, mengkhianati, dan tidak ikut memperjuangkan tujuan massa aksi itu. Massa aksi juga tidak akan berhasil jika hanya menjadikan kekerasan dan pengrusakan sebagai alat utama. Seperti kata Tan Malaka: “Hanya “satu massa aksi", yakni satu massa aksi yang tersusun, yang akan memperoleh kemenangan di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia. Massa aksi tak mengenak fantasi hampa seorang tukang putch atau seorang anarkis atau perbuatan berani dari salah seorang pahlawan. Massa aksi memerlukan orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka."

Yang jelas, adanya massa aksi menunjukkan adanya suatu mosi tidak percaya (meminjam istilah band Efek Rumah Kaca) atau ketidakpuasan dan kekecewaan atas suatu kebijakan atau kondisi. Sesuatu yang menunjukkan adanya perasaan ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat dan perlu diperjuangkan untuk merubahnya menjadi keadilan. Seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Toer, pernah menulis: “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali  orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana”. Lalu, sebagai mahasiswa, apa yang bisa kita lakukan? 


Oleh : Iskandar Muda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar