Anomali Nasionalisme di Kancah Persepakbolaan Negeri

“Juara umum tanpa emas sepak bola seperti hambar? Tidak juga. Tapi kericuhan suporter menafsirkan ketidaksportifan Indonesia. Ternyata berlomba akan ke ‘aku’ an. Apa mengibarkan bendera, kulit dicat merah putih, biar masuk tv? Mana daya ingat akan lagu Indonesia Raya yang selalu salah diteriakkan? Mana emosi yang disertai logika realita? Orang-orang harus dibangunkan. Kenyataan harus dikabarkan. Aku di sini menjadi saksi. Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. (SMS dari GIY)


Kata-kata yang membuat saya berfikir, apa iya  kalau ternyata uforia mendukung Tim Nasional (Timnas) hanya sebuah anomali nasionalisme? Tak ada esensi dari sebuah luapan semangat nasionalisme murni yang mengalir di sana. Hanya uforia mencari kesenangan sesaat akan pelarian dari persoalan bangsa yang tak kunjung pernah sampai pada satu titik kejelasan. Sebelumnya saya selalu berfikir sepak bola ada ruh yang luar biasa. Sebuah olahraga yang mampu mempersatukan bangsa dan memberi secercah harapan di tengah kekarutan negeri. Kemudian setelah peristiwa Senin pilu di Gelora Bung Karno (GBK), dan SMS tersebut saya berpikir mungkin memang ada benarnya bahwa ini hanyalah semangat untuk menunjukan ke ‘aku’an.

Namun, mungkinkah ini juga hanya sebuah kekritisan seorang mahasiswa yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi? Atau idealisme mahasiswa yang memang selalu diperkenalkan dengan keidealan dan kesempurnaan oleh teori-teori yang setiap hari mereka temui? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini.

Kembali pada nasionalisme dan aksi mendukung Timnas. Sebuah anomali yang masih menjadi dilema even itu pada diri pribadi. Sepak bola memang olahraga rakyat yang selalu dieluh-eluhkan di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Sepak bola memang bukan hanya olahraga tapi juga ajang gengsi dan kehormatan suatu negara. Bermain bola bukan hanya soal taktik dan tropinya tapi lebih pada emosi dan supremasi. Suporter adalah ruh lain dari kesempurnaan sebuah permainan sepak bola. Dukungan suporter bisa menjadi pemain kedua belas yang mampu memompa semangat juang pemain dan juga bisa sebagai tekanan yang bisa membuat tim frustasi. Dan inilah yang sering terjadi di negeri ini, ribuan orang atas nama cinta Timnas selalu berbondong-bondong menuju stadion. Segala daya akan dilakukan dan pengorbanan besar siap diberikan agar bisa menjadi bagian dari setiap pertandingan yang dilakukan Timnas. Permasalahannya adalah ketika emosi tak lagi disertai logika realita. Perasaan mendukung yang menggebuh-gebuh tak mampu lagi membuat otak berfikir akan realita. Sehingga menghancurkan pagar, membakar loket menjadi pelampiasan ketika keinginan tak terakomodasi. Sekarang masihkah ini bisa dikatakan semangat nasionalisme? Apa iya nasionalisme bersifat destruktif? Apa iya nasionalisme hanya emosi tanpa logika realita?

Memang benar kata temanku kenyataan harus dikabarkan dan orang-orang harus disadarkan, bahwa tak begini caranya. Mendukung Timnas bukan harus selalu ada di stadion dengan merubuhkan pagar. Mendukung Timnas bukan dengan berprilaku seperti orang yang tak bermoral yang siap menyikut, mendorong bahkan menginjak saudaranya sendiri. Mendukung Timnas juga bukan dengan tidak menghormati hak-hak orang lain.

Sudah saatnya mendukung dengan kedewasaan dan logika realita, berusaha tanpa memaksa.  Ini bukan soal ada atau tidaknya kamu di Gelora, tapi ini tentang bagaimana kamu bisa membiarkan Timnas berjuang tanpa ada cerita duka dibalik setiap pertandingannya. Hadir mendukung langsung memang penting tapi itu tak lebih penting daripada mendukung dengan sehat dan realitis. 


Oleh : Lina Febrianti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar