Pandangan Pertama

Pernahkah kamu memandang ke arah seseorang dan merasakan getaran-getaran? Coba cek hapemu, mungkin ada panggilan masuk atau pesan singkat, atau mungkin kamu perlu ke ahli saraf karena ada kemungkinan gejala stroke. Itulah salah satu contoh kritis akan hati sendiri, mencoba skeptis akan perasaan-perasaan yang dialami sehingga mencoba menghindari makna dari getaran-getaran yang dirasakan. Terlepas dari kebenaran yang membahas mengenai rasa itu, rasanya perlu kita beri perhatian kepada cinta pada pandangan pertama, sebuah keadaan yang (katanya) memungkinkan seseorang untuk tertarik sejak di awal jumpa, layaknya sebuah karya William Shakespear yang mendunia, di mana sepasang anak manusia tertarik setelah bertemu secara tidak sengaja dalam sebuah pesta dansa, dan tarikannya kian terasa setelahnya bahkan terbawa ketika berkendara atau mengetik dalam ruang sunyi sambil mendengarkan lagu mendayu tentang hujan yang tak berakhir.
            Berbicara mengenai getaran-getaran yang dirasakan, untuk lebih lanjut rasanya saya harus membahas hal yang mendasar , tidak terlalu mendalam mengenai mengapa hal itu harus terjadi, namun mungkin tentang bagaimana hal tersebut bisa terjadi adalah hal yang paling mendasar yang bisa dibahas dari sudut kapabilitas saya sebagai seorang pujangga buruk citra. Dari sudut pengalaman pribadi sepertinya yang paling bisa menyebabkan getaran-getaran mistis itu adalah sinyal-sinyal energi psikis yang dirasakan memiliki kutub yang saling tarik menarik, lebih tepat jika saya contohkan magnet yang berbeda kutub, klop kan?
Perbedaan keadaan psikis per individu mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi habit atau kebiasaan, dan kebiasaan mempengaruhi fisik. Maka menurut analisis ahli ngasal seperti saya, kebiasaan yang mempengaruhi fisik menjadi penentu yang cukup signifikan dalam memunculkan getaran-getaran dalam tiap-tiap pertemuan dengan individu lain. Jadi dalam hal ini tubuh memiliki sensornya sendiri terhadap objek-objek yang ditemui untuk kemudian dikodekan bentuk kecocokan melalui getaran-getaran yang dirasakan, bukankah perilaku antar individu harus sesuai agar hubungan yang berjalan dapat terharmonisasi dengan baik? Karena sering kali kita biasa saja meskipun bertemu beberapa keindahan dengan padu padan yang serasi selaras dan seimbang namun entah mengapa kurang begitu pas di hati.
            Berangkat dari kecocokan yang analisisnya terkesan dipaksakan pada paragraf sebelumnya, maka di sini dapat diasumsikan bahwa getaran-getaran tersebut dapat timbul karena sensor psikis tubuh merasakan kecocokan atau sinyal yang dapat sesuai dan berada pada jalurnya. Namun masalah selanjutnya muncul, setelah kita merasakan sinyal tersebut lalu apa? Sebuah pertanyaan sederhana, memiliki jawaban sederhana dan mudah untuk dikatakan namun sulit untuk dilaksanakan. Hanya dua pilihan untuk meneruskan perjuangan yang penuh darah, keringat dan air mata atau kembali ke pangkalan sambil memendam rasa yang terhambat yang semoga hilang terbawa seiring angin berhembus, hujan berderai, dan terbenam longsoran tanah atau hancur dilebur letusan gunung.
            Dilihat dari dua pilihan yang tersedia yang baru saja saya ketik dengan mudahnya tanpa harus benar-benar merasakan deru debu di dalamnya, maka selanjutnya kita harus melihat konsekuensi lanjutan dari pilihan-pilihan tersebut.  Jika maju yang dipilih maka setelah segala usaha dan getaran hebat yang dirasakan untuk mengungkapkan kesimpulan dari sinyal tersebut yang biasa disebut cinta adalah kesiapan kita untuk menerima keputusan dari si pujaan hati. Untuk saya yang telah merasakan konsekuensinya, jika itu adalah tidak maka bersiaplah untuk kembali ke titik awal dimana kita harus menghanyutkannya bersama derai hujan atau meleburnya di kawah merapi di mana hanya malam yang terasa lebih kudus dari biasanya yang mengerti serta bintang yang tak pernah berkata yang seolah mengejek kita penuh iba. Namun sebaliknya, jika jawaban sang seroja adalah iya untuk mengkoneksikan hubungan kedalam pengesahan yang semakin diakui maka selanjutnya kita harus bersiap untuk segala konsekuensi seperti waktu, perhatian, perasaan dan perhitungan yang lebih memasukkan faktor sang sedap malam dalam hampir setiap keputusan dan tindakan, yang di mana jika tidak dapat terdelegasikan dengan baik dapat berakibat sepinya nada dering di hape dan getaran-getaran pun dirasa semakin mengganggu dan mungkin setelahnya kita mungkin harus membawa ke reparasi elektronik untuk mengecek apakah dinamo getar sang hape rusak?.
            Maka terkadang bukan saya pengecut atau skeptis terhadap perkembangan yang terjadi dalam kasus cinta pada pandangan pertama, namun lebih kepada hati yang mungkin tidak terlalu berani untuk menerima konsekuensi dari meneruskan dan kemudian memastikan apakah sinyal-sinyal yang dirasakan berupa bayangan akan wajahnya yang tiada henti terbawa bersama tinta sang rembulan adalah benar merupakan sebuah cinta yang terbalaskan atau lebih kepada kesalahan tubuh merespon? Karena menurut Ryu Hasan setiap respon dan pilihan atas tindakan dari respon tersebut telah ditetapkan dalam hormon-hormon kita sehingga dapat disimpulkan bahwa tiada kehendak bebas dalam keseharian manusia, semua sudah diatur melalui hormon-hormon.
            Dengan sedikit gemas saya menyalahkan hormon saya sendiri yang salah menganalisa sinyal-sinyal kecocokan dalam cinta yang dirasakan, namun lebih lanjut dalam pemikiran yang kritis kita dapat mengatakan bahwa bisa saja secara alami tubuh dan jiwa kita merasa cocok namun hal yang sama tidak terjadi pada sang rembulan padam sehingga cintapun bertepuk sebelah tangan, betapa perih udara yang menghempas di telapak yang tak tertahan. Jika demikian, apakah layak sebuah perasaan diperjuangkan berlandaskan ketertarikan pada pandangan pertama? Ahh… sekali lagi. Sambil membayangkan wajahnya, mari menatap rembulan yang terjerat ranting pohon pete.


Tangerang 18 Apr 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar