Pernyataan
itu menjadi kado pahit bagi individu-individu yang bergelut di wilayah
psikologi. Beliau memperingatkan dengan keras akan keberfungsian psikologi yang
tidak merata dan minim peran serta dalam masyarakat. Ironisnya sampai detik ini
peringatan tersebut belum dibalas dengan sikap positif, bahkan ada indikasi para ahli di bidang psikologi masih terjebak dengan
identitas psikologi, bahwa psikologi berstatus ilmu atau bukan. Kemudian lebih
mengkhawatirkan lagi dengan penyekatan-penyekatan yang terjadi di nadi psikologi
antara mahzab-mahzab yang ada.
Jika sudah begini, psikologi untuk memahami
diri sendiri benar adanya. Apabila diterjemahkan dalam bahasa sarkasme,
psikologi bersifat egois. Padahal berbicara mengenai status psikologi sebagai
suatu ilmu atau bukan, harus ditinjau terlebih dahulu apa itu ilmu. Uniknya,
pengertian ilmu sendiri masih beragam dan belum menemukan formula yang sesuai.
Akan tetapi, menempatkan ilmu pada tahta tertinggi berupa tujuan bisa digarisbawahi.
Menurut Professor Hastarjo, guru
besar Universitas Padjajaran, ilmu memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk
memperbaiki kehidupan manusia dan mempermudah manusia dalam aktivitas
sehari-hari.
Salah
satu bukti ialah dalam penelitian. Penelitian yang baik beranjak dari masalah
sehingga dengan hasil penelitian yang diperoleh bisa diproyeksikan untuk meminimalisir
permasalahan. Oleh karena itu, menjabarkan status Psikologi apakah ilmu atau
bukan, menjadi tidak bermakna ketika keberfungsian psikologi masih nyaman
dengan zona atas dan terbatas.
Ini
menjadi tugas rumah bagi psikolog, ilmuwan psikologi dan mahasiswa psikologi.
Dengan komplementer dan alur fleksibiltas pada mahzab-mahzab psikologi seperti
psikolanalisa, behaviorisme, humanistik
dan lain-lain seharusnya bisa menjadi busur panah untuk mencapai sasaran
kebermanfaatan yang merupakan nilai tertinggi dari sebuah ilmu.
Mengadopsi
dari ilmu kedokteran yang merupakan sahabat karib psikologi, jiwa-raga, bisa
dilakukan. Di kedokteran, penyakit-penyakit yang baru muncul dan otomatis belum
ditemukan obatnya diteliti secepatnya dan secepat mungkin diketemukan “lawan”
dari penyakitnya. Hal ini bentuk dari perhatian bidang kedokteran karena
melihat dampak negatif dari pembiaran masalah berupa penyakit yang merugikan
manusia.
Psikologi
pun harus berupaya seperti itu meskipun perilaku manusia bersifat dinamis.
Gejala perilaku manusia saat ini ada yang belum teridentifikasi karena teori
yang digunakan psikologi tertinggal berpuluh-puluh tahun. langkah konkret seperti
mengkaji perilaku manusia di era millennium dan teknologi lebih baik
dikedepankan daripada sibuk dengan perkataan masing-masing ahli terkait
identitas yang sesungguhnya bisa diselesaikan oleh pernyataan bahwa perbedaan
itu rahmat.
Kondisi psikologi di Indonesia memang menjadi dilematis,
mengingat kesejahteraan Indonesia masih menjadi oase di sahara bagi banyak
orang. Seperti teori tingkatan kebutuhan maslow, Indonesia masih mengalami fase
dimana manusianya kebanyakan berjibaku pada kondisi fisik, dengan artian
berusaha mencari makan. Apalagi, objek psikologi berupa manusia yang kata
sastrawan bernama Pram, sulit untuk dipahami meski inderamu setajam para dewa.
Walaupun demikian, ini menjadi tantangan bagi orang-orang psikologi. Psikologi
harus membuktikan dengan langkah nyata dan mengeksiskan keberadaannya dengan
aliran manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Maka, selama psikologi mementingkan status dan
menghiraukan esensi dari sebuah ilmu, lonceng kematian di pelataran psikologi
akan berbunyi kian nyaring. Psikologi wafat dengan sendirinya karena
orang-orang tidak mendapatkan pengaruh dari keberadaan psikologi yang terkenal
dengan memanusiakan manusia.
“
Sebaik-baiknya manusia ialah manusia
yang bermanfaat bagi orang lain. “
Oleh : Galih Ismoyo Yantho
Apabila memang begitu, hal apa yang paling krusial yang harus dilakukan oleh para calon psikolog Indonesia menurut Anda??
BalasHapusTerima kasih atas artikelnya.. Sangat inspiratif.. :)